Darwanto mengatakan, banyak orang di lingkungannya telah pindah ke tempat lain dan meninggalkan rumah mereka.
Sedangkan sisanya tetap tinggal karena rumah yang masih layah huni atau karena tidak punya uang untuk membeli rumah baru.
"Orang-orang di sini mencoba pindah dan menjual rumahnya dengan harga murah, tapi tidak ada yang menginginkannya," ucap Darwanto.
Sementara di Dukuh Semonet, Desa Semut, Kecamatan Wonokerto, penurunan tanah menyebabkan desa tergenang air setinggi 1 meter.
Saat ini, satu-satunya cara untuk keluar masuk desa adalah melalui perjalanan singkat dengan perahu.
Lebih lanjut, Kepala Bappeda Pekalongan mengatakan, pihaknya telah berupaya membuang air yang menggenangi sejumlah wilayah.
Namun saat air genangan dipompa dan dialirkan ke sungai atau laut, air tersebut akan mengalir kembali ke daerah pemukiman dan jalan-jalan.
"Sungai juga menyempit karena sedimentasi, sehingga dua jam hujan sudah cukup untuk menggenangi sebagian kota," jelas Anita Heru Kusumorini.
Baca juga: Banjir di Kabupaten Pekalongan Sudah 2 Minggu Belum Surut
Anita menambahkan, Pekalongan berencana membangun tanggul laut untuk melindungi sekitar 290.000 penduduk.
Sistem pertahanan itu akan mencakup pembangunan stasiun pompa di muara aliran air terbesar dan paling rawan banjir di Pekalongan, Sungai Loji.
Untuk menghentikan orang-orang mengambil air tanah, kota ini juga berencana membangun waduk dan membuat jaringan perpipaan yang rumit untuk mendistribusikan air bersih.
Pihaknya juga berencana merelokasi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai yang rawan banjir, membangun tanggul dan memperbaiki sistem drainase yang sudah tidak memadai lagi untuk mengatasi curah hujan yang ekstrim akibat perubahan iklim.
"Kami hanya dapat mengalokasikan 250 miliar rupiah setiap tahun untuk proyek infrastruktur. Ini tidak banyak. Makanya kami mengandalkan bantuan dari pemerintah pusat dan provinsi," papar Anita.
Pada 2019, lanjut Anita, pemerintah pusat menggelontorkan dana Rp 500 miliar untuk pembangunan tanggul laut sepanjang 2,3 kilometer.