News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hari Pendidikan Nasional

Kisah Guru di Pedalaman Jembrana, Mengajar di Sekolah yang Mepet Hutan

Penulis: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anak Agung Putu Agung Adhitya Satria Utama

TRIBUNNEWS.COM, NEGARA - Sang ujung tombak pendidikan, guru selalu punya kisah tersendiri.

Mereka menjadi tumpuan terpenting dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Perjuangan mereka dalam mengajar tak jarang membuat decak kagum.

Hal ini pulalah yang ditunjukkan dari perjuangan seorang guru di Jembrana, Anak Agung Putu Agung Adhitya Satria Utama,S.Pd.

Ia berjuang penuh untuk pendidikan dasar putra-putri Jembrana.

Baca juga: Cerita Perjuangan Guru di Masa Pandemi: Antar Langsung Soal Ujian Hingga Nombok Ratusan Ribu Rupiah

Gung Adhitya sendiri merupakan alumni dari Undiksha Singaraja tahun 2013.

Di tahun 2013 itu pulalah dirinya langsung mendaftar sebagai PNS di Jembrana sebagai tenaga pendidik sekolah dasar.

Kemudian dirinya langsung mengajar di SDN 3 Tegalcangkring mulai tahun 2014 silam, atau sekitar tujuh tahun yang lalu.

Mengajar di Tengah Pandemi saat Teknologi Belum Mumpuni

Sebagai guru di tengah masa pandemi, Gung Adhitya mengaku, bahwa sebagai seorang guru, memang menjadi tantangan tersendiri.

Terutama di tengah teknologi atau internet dengan kecepatan mumpuni, belum menjamah pedesaan di Jembrana. Tepatnya di sekolah yang diajarnya, belum memiliki hal tersebut.

Belum lagi ditambah, guru saat ini harus merefleksi diri supaya tidak gagap teknologi. Mengajar dengan cara kekinian.

“Di tengah pandemi ini pembelajaran lewat WA. Karena untuk daring di sekolah susah sinyal. Sehingga pembelajaran lewat grup WA,” ucapnya Minggu 2 Mei 2021.

Menurutnya, pembelajaran melalui grup WA tidaklah maksimal.

Demi mencukupi kebutuhan pembelajaran muridnya, ia pun harus menggelar tatap muka seminggu sekali.

Dan itu pun dengan menaati protokol kesehatan.

Baca juga: Perjuangan Guru di Batang Antar Soal Ujian ke Pegunungan, Nombok Ratusan Ribu untuk Kuota Internet

Meskipun, saat ini sudah dapat PTM (Pembelajaran Tatap Muka) setiap hari, namun dengan jumlah terbatas.

“Pada saat pandemi, sebagai guru pun saya harus mengusir kebosanan siswa-siswi yang saya didik. Karena hanya dari WA saja mereka juga bosan,” ungkapnya.

Karena itu, sambungnya, ia berinisiatif membuat siswanya tidak bosan.

Caranya dengan membuat video literasi.

Mereka akan membuat video dengan handphone dengan berkelompok, kemudian menuliskan segala unsur dalam buku yang dicari di perpustakaan, dituangkan dalam video.

Setelah itu, video dari para siswanya itu di-upload-nya ke instagram.

Dari situ siswa kemudian membandingkan, antara video satu kelompok dan kelompok lainnya.

“Dari perbandingan di instagram itu mereka akhirnya membenahi kualitas,” ungkapnya.

Sensasi Mengajar di Dekat Hutan

Gung Adhitya pun mengakui, sebagai seorang guru dirinya memiliki banyak tantangan selama tujuh tahun ini.

Sebab, dirinya harus mengajar di pelosok.

Dimana sekolah SD Negeri 3 Tegalcangkring berada tujuh hingga delapan kilometer dari jalan raya utama.

Bahkan, jaraknya hanya satu kilometer dari hutan di Jembrana.

Namun, demi masa depan anak didiknya, ia pun berusaha memberikan pendidikan ekstra.

Yang paling dikenangnya, ialah mengajar saat anak didiknya akan melaju ke Olimpiade Matematika.

Dimana pendidikan di sekolah itu belum maksimal.

Contohnya saja, dalam segi perkalian, anak didiknya belum mumpuni (siswa kelas V). Sehingga dirinya harus menambah ekstra pelajaran di sore hari.

Hal ini pun harus dari persetujuan orangtua anak didik.

Permasalahannya, anak didiknya merupakan anak berbakti yang harus membantu orangtua ketika selesai sekolah.

“Jadi mereka mendapat pelajaran penuh hanya di sekolah. Karena itu saat Olimpiade matematika itu saya haru menambah pelajaran ekstra sore hari. Mereka itu berpotensi, tapi memang harus membantu orang tua saat selesai sekolah. Jadi mereka cuma dapat pelajaran penuh, ya, di sekolah,” paparnya.

Anak didik SD Negeri III Tegalcangkring, mayoritas orangtuanya ialah pekerja di perkebunan dan pertanian.

Sehingga suatu kebanggaan bagi dirinya, ketika anak didiknya bisa lolos tujuh besar dalam Olimpiade matematika di tingkat Provinsi.

Baca juga: Kisah Guru Honorer di Sukabumi, Terpaksa Mengajar di Atas Perahu, Dibayangi Sergapan Buaya

Sejatinya dalam mengajar, dirinya hanya melihat bagaimana semua siswanya bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik meskipun hanya di sekolah pelosok.

Terbukti, dedikasinya salah satunya ialah berprestasi di tingkat nasional dalam program Dokter Kecil Maherbisi pada 2017 atau 2018 lalu.

Nah, hal yang terpenting dalam pendidikan di Jembrana ialah bagaimana sinergitas Dinas Pendidikan dan perangkat guru di sekolah berjalan lebih baik.

Terutama terkait sosialisasi kegiatan-kegiatan nasional ke sekolah-sekolah oleh Diknas.

Kemudian apresiasi kepada guru atas prestasinya.

Satu di antara wujudnya bisa jadi ialah Guru penggerak.

Baca juga: 333 Titik Posko Penyekatan Sepanjang Lampung Hingga Bali Siap Menghalau Pengendara yang Nekat Mudik

Dimana saat ini, sudah ada 49 dari sekitar enam ribuan guru, yang akan menjadi guru penggerak.

Dan akan diseleksi lagi menjadi 28.

Dalam Guru penggerak ini nantinya seorang guru akan dilatih kepemimpinan, memimpin diri sendiri tentu bisa menjadi teladan untuk yang lain. Dan tentu saja ini harus diapresiasi dengan sebaik-baiknya.

“Kalau untuk siswa tentu saya berharap lomba untuk siswa diperbanyak. Ini tentu akan menjadi semangat tersendiri bagi siswa. Baik akademik dan non akademik, lomba harus diperbanyak,” bebernya. (tribun network/thf/TribunBali.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini