"Kemarin kan kita pas belajar di atas perahu itu di Cikaso, kalau di Cikaso terlalu deket dengan jalan kemarin itu kan, takutnya tidak di perbolehkan juga. Jadi kemarin kita di atas perahu terus di pinggir sungai di bawah pohon," terangnya.
Belajar di atas perahu dipilih karena muridnya tak hanya berasal dari wilayah Cibitung, ada juga dari Kecamatan Tegalbuleud, sehingga tempat itu dipilihnya karena berada di tengah-tengah.
"Siswa pun ada dari Tegalbuleud, ada di Cibitung. Jarak ke sekolah kalau lewat air 45 menit, kemudian jalan kaki deket. Tapi anak anaknya yang lebih extrime, halus melewati turun gunung naek gunung," ucapnya.
Ngajar Saat Hamil
Saat ini, guru berumur 27 tahun ini harus berjuang ekstra, karena mengajar dalam kondisi hamil.
Terlebih ia harus mengantarkan soal ujian secara langsung ke setiap siswanya.
Hal itu dilakukan soal tidak bisa dikirim melalui internet atau aplikasi perpesanan karena tak ada sinyal.
"Paling kendala sekarang untuk pembagian soal ujian sekolah ke anak harus ngasih langsung ke anaknya, gak bisa melalui media internet atau pake HP kita kesulitannya di sinyal."
"Apalagi saya sendiri sekarang lagi hamil jadi tantangan juga luar biasa harus turun, naik perahu," ujarnya.
Baca juga: Perjuangan Guru di Batang Antar Soal Ujian ke Pegunungan, Nombok Ratusan Ribu untuk Kuota Internet
Berharap Pemerintah Perhatikan Kesejahteraan
Siti Saroyah mengatakan, ia sudah mengajar sekitar tiga tahun di SMP tersebut. Saat ini ia menerima gaji setiap tiga bulan sekali.
Dalam sebulan ia dibayar Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu tergantung jam per bulan.
"Ngajar sudah 3 tahun menjadi honorer gaji kadang 300 kadang 400 tergantung jam per bulan. Biasanya gajihan tigabulan sekali," jelasnya.
Ia berharap, pemerintah memperhatikan kesejahteraan guru di pelosok. Terlebih perjuangan mereka dalam mengajar cukup berat.