Pada tahun 2014, dia ikut temannya merantau ke Lubuklinggau.
Disana dia jualan jamu keliling, sementara sang suami jualan bakso keliling.
Sampai suatu hari, Kadiyem bertemu dengan seorang kakek mengenakan baju putih dan topi caping.
"Kakek itu minta minum, katanya haus, tapi gak punya uang. Saya kasih jamu dan masih saya bungkusin jamu," ujarnya.
"Kakek itu bilang, dua sampai tiga minggu lagi saya jualannya suruh di tempat saja, gak usah keliling. Kakek itu pergi dan tiba-tiba menghilang," tambahnya.
Sejak itu suami Kadiyem mengontrak sebuah rumah yang dijadikan warung bakso. Benar saja, setiap hari warung bakso ramai dipenuhi pelanggan.
"Saya kalau ingat kakek itu, selalu menangis," imbuhnya.
Saat ini Kadiyem hanya berjualan bakso. Dari penjualan baksonya itu, dia dapat membangun rumah yang megah di Desa Bubakan.
Meski bisa membeli dan membangun rumah di Bubakan, dia enggan membeli rumah ditempat rantaunya.
"Disana saya masih mengontrak. Memang saya gak mau beli rumah disana, karena saya ingin tetap tinggal dan pulang kesini (Bubakan)," tambahnya.
Selain melayani pelanggan yang di warung, Kadiyem juga melayani catring diberbagai acara termasuk acara kedinasan.
Biasanya, Kadiyem dan keluarganya lebih sering di perantauan. Anak-anaknya ia sekolahkan di Lubuklinggau.
"Ini saya di rumah karena sedang renovasi rumah," ujarnya.
Saat ditanya berapa pendapatan rata-rata Kadiyem berjualan bakso, dia enggan menjawab.