Bahkan ada beberapa rumah industri batik di Laweyan yang mulai mengekspor produk batiknya.
“Untuk pasar langsung dari teman-teman itu ke Amerika, sedangkan kalau ke Eropa lewat Bali,” ujar Alpha.
Alpha menyebut, sebelumnya FPKBL sempat dimintai masukkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta untuk fokus kebangkitan ekonomi kota berbasis budaya.
Alpha mengatakan pada waktu itu dirinya memberikan saran terkait digitalisasi pemasaran produk batik.
“Memang selama ini untuk pengusaha-pengusaha kecil kelas mikro itu sedikit kurang konsentrasi pada konteks digitalisasi, selama ini mereka masih mengandalkan penjualan offline, juga kunjungan wisatawan.”
Baca juga: Saat Peringatan HUT Apkasi ke-21, Jokowi Minta Bupati Terus Jaga Kesehatan Masyarakat
“Hingga kini adanya Pandemi Covid-19 memaksa mereka untuk memperkuat pemasaran secara online, tentu ini tantangan tersendiri,” lanjut Owner Batik Mahkota Laweyan tersebut.
Maka dari itu dirinya mengusulkan agar Pemkot Solo memberi dukungan terbentuknya IT and digital Center di tiap-tiap kawasan industri kreatif.
Walaupun memang selama ini sudah ada komunitas digital di Sentral Industri Kreatif Semanggi Harmoni.
“Maksud saya itu kalau di sana (Sentral Industri Kreatif Semanggi Harmoni ) menjadi pusatnya, nah yang di kawasan-kawasan industri kreatif ini menjadi kepanjangan tangannya,” katanya.
Asa Bagi Kaum Disabilitas
Pemasaran secara digital satu di antarannya gigih dilakukan oleh para perajin batik yang menamakan diri mereka Batik Toeli.
Singkat cerita Batik Toeli dibentuk oleh CV Mahkota Laweyan sejak awal pandemi tahun lalu.
Alpha mengatakan awal mula dirinya memiliki pegawai seorang tunarungu yang berprofesi sebagai perajin batik.
“Kemudian datanglah 3 rekan dari pegawai saya, mereka rupanya menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dari situlah muncul gagasan Batik Toeli ini,” kata Alpha.