SEMARANG, TRIBUN - Selama pandemi Covid-19 banyak perusahaan yang memilih merumahkan karyawannya. Entah yang dirumahkan sementara atau sampai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal itu dilakukan perusahan agar bisa bertahan di kala pandemi.
Namun muncul dampak lain, yaitu buruh atau pekerja tidak bisa berobat menggunakan kartu BPJS Kesehatan. Karena perusahaan tempatnya bekerja nunggak iuran bulanan, alias kewajiban bayar iuran BPJS Kes dan BPJS Ketenagakerjaan tidak ditunaikan dengan baik.
Buruh dan keluarganya, yang mengalami hal tersebut (perusahaan nunggak iuran) tidak bisa berobat menggunakan BPJS Kes. Status pekerja tersebut tidak di-PHK tapi juga tidak dipekerjakan. Sedangkan mau mendaftar sebagai peserta baru BPJS juga tidak bisa. Lantaran Nomor Induk Kependudukan (NIK) telah terdaftar di BPJS sebagai Peserta Pekerja Penerima Upah (PPU).
Tribunjateng.com melakukan penelusuran kondisi tersebut di beberapa kota yaitu di Kota Semarang, Kudus, Purwokerto, Pekalongan, Kendal, Solo dan daerah lain.
Seorang pekerja sebut saja Suryani panik karena anak gadisnya harus menjalani perawatan medis di rumah sakit pemerintah. Suryani kaget karena kartu BPJS Kes tak bisa digunakan. Baru kemudian dia mengetahui bahwa perusahaannya sudah lama tak bayar iuran BPJS, lantaran kesulitan keuangan.
Kemudian Suryani ingin mendaftar kepesertaan mandiri ke BPJS. Namun ditolak karena NIK dia masih terdaftar sebagai Pekerja Penerima Upah. Kemudian dia datang ke perusahaannya membayar sejumlah rupiah. Tak lama kemudian kartu BPJS Kes milik Suryani aktif kembali.
Di Kudus, tercatat ada 20 perusahaan yang menunggak iuran BPJS Kesehatan dengan total nilai sekitar Rp 250 juta. Bahkan ada perusahaan yang memanipulasi status kepegawaian untuk mencegah menggelembungnya tunggakan.
"Sengaja memalsukan status pegawai yang sebenarnya belum keluar, tapi dilaporkan (ke BPJS Kesehatan-red) sudah keluar," ujar seorang pria pemimpin perusahaan yang minta dirahasiakan namanya.
Menurutnya, perusahaan sengaja melakukan hal demikian demi menekan beban anggaran, terutama selama pandemi ini, mengalami kesulitan keuangan. Tapi pekerja yang mendapat perlakuan demikian tidak protes karena tahu kondisi perusahaan.
Akhirnya buruh tersebut mendaftarkan kepesertaaannya melalui BPJS Kesehatan secara mandiri. Meskipun sebenarnya pegawai itu masih bekerja di perusahaan, yang seharusnya menjadi tanggungjawab pemberi kerja.
Dinonaktifkan
Kepala BPJS Kesehatan Cabang Kabupaten Kudus, Agustian Fardianto menyampaikan terdapat 20 perusahaan di Kudus yang menunggak iuran. Mereka beralasan karena situasi pandemi.
"Dari tahun 2020 ada sekitar 20 perusahaan yang tersendat pembayaran iurannya," ujar kata Agustian.
Jumlah iuran keseluruhannya mencapai Rp 250 juta. Bahkan satu di antaranya merupakan perusahaan besar yang menunggak 50 persen lebih dari total tunggakan atau Rp 160 juta.
"Lamanya tunggakan perusahaan bervariasi ada yang 15 bulan, 19 bulan dan paling lama itu 24 bulan," kata dia.
Dengan tunggakan itu, maka pegawai dari perusahaan tersebut dinonaktifkan kepesertaan BPJS Kesehatan.
"Otomatis tidak aktif kartunya sampai mereka melunasi iurannya," tegasnya.
Menurut Agustian, nonaktifnya kepesertaan BPJS Kesehatan dinilai justru merugikan perusahaan. Pasalnya, perusahaan tersebut harus menanggung kondisi kesehatan pegawainya.
"Perusahaan rugi sebenarnya kalau kepesertaannya nonaktif karena biaya pengobatan pegawai menjadi tanggungjawab perusahaan," ucapnya.
Kecuali, bagi pegawai yang sudah berhenti bekerja atau pindah ke perusahaan lainnya. Bagi pegawai yang sudah tidak bekerja di perusahaan itu, maka harus dilaporkan kepada BPJS Kesehatan. Selama tidak dilaporkan, kata Agustian, maka iuran kesehatannya akan menjadi tanggungjawab pemberi kerja.
"Selama tidak dilaporkan, kami tidak bisa mengeluarkannya dalam sistem. Maka perusahaan yang akan menanggung iurannya," ujar dia.
226 Badan Usaha
Di Banyumas, sebagaimana data dari Kantor BPJS Kesehatan Kabupaten Banyumas, hingga 21 Oktober 2021 terdapat total 226 Badan Usaha di Banyumas yang menunggak iuran.
Kepala Cabang BPJS Banyumas, Debbie Nianta Musigiasari menyatakan, 226 badan usaha tersebut merupakan badan usaha kategori kecil. Karena badan usaha kategori kecil, sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat kolektibilitas secara total.
"Tingkat kolektibilitas iuran pekerja penerima Upah dari Badan Usaha sampai dengan bulan September 2021 sebesar 99.39 persen. Artinya masih bagus karena BPJS Kesehatan menerapkan close Payment untuk pembayaran iuran dari badan usaha," kata Debbie, Sabtu 23 Oktober.
Close payment artinya iuran hanya dapat dibayarkan sejumlah yang ditagihkan oleh BPJS Kesehatan. Namun demikian, ia mengakui memang ada keluhan dari para peserta atau buruh mengenai non-aktifnya status kepesertaan BPJS kesehatan akibat perusahaan menunggak pembayaran iuran.
"Keluhan itu beberapa kali muncul. Tetapi masih bisa teratasi setelah peserta menghubungi HRD perusahaannya masing-masing dan melakukan pembayaran tunggakan," imbuhnya.
Merespon kondisi tersebut, Pihak BPJS Kesehatan Banyumas menerapkan apa yang disebut sebagai close Payment pembayaran iuran dari badan usaha. Artinya iuran hanya dapat dibayarkan sejumlah yang ditagihkan oleh BPJS Kesehatan, dan bila iuran dibayarkan maka otomatis kepesertaan karyawan di badan usaha tersebut aktif.
Di sisi lain upaya penagihan terus dilakukan dengan cara telekolekting, bersurat hingga kunjungan lapangan ke Badan Usaha yang menunggak. Terhadap badan usaha yang sudah dilakukan penagihan, namun belum membayar, maka akan dilakukan upaya penegakan kepatuhan oleh tim pengawasan sekaligus pemeriksaan badan usaha dengan tahapan upaya pemanggilan badan usaha.
Program UHC
Warga Kota Semarang patut berbangga karena Pemkot menerapkan program Universal Health Coverage (UHC). Peserta atau warga yang masuk dalam program UHC di Kota Semarang, premi atau iuran bulanan sudah ditanggung menggunakan APBD.
Kabid Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Semarang, Rahma Defi, menjelaskan karyawan atau buruh yang terkena PHK juga bisa mendaftarkan diri untuk menjadi peserta UHC. Namun dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.
"Peserta calon pengguna program UHC harus membuat surat keterangan bahwa dirinya tidak bekerja dan tidak mampu membayar iuran JKN. Selain itu, peserta harus ber KTP dan berdomisili di Kota Semarang. Peserta yang sebelumnya ikut BPJS iuran mandiri juga bisa beralih ke UHC, asalkan memenuhi syarat. Salah satunya tidak mampu," jelasnya.
Diakui oleh Dinkes bahwa ada beberapa peserta UHC yang merupakan karyawan outsourching. Padahal, karyawan yang berstatus tetap, kontrak, dan outsourching, iuran jaminan kesehatannya ditanggung oleh perusahaan.
"Ini masih banyak kasus pegawai outsourching yang masuk UHC. Padahal itu tanggungjawab perusahaan. Tapi ada beberapa perusahaan yang sengaja tidak membayarkan iuran JKN karyawannya," tegasnya.
Program UHC di Kota Semarang kini sudah mencapai target peserta 95 persen. Total peserta program UHC yang dibiayai oleh Pemerintah Kota Semarang mencapai 358 ribu jiwa.
"Kami saat ini sudah mencapai target 95 persen. RPJMD 2024 nanti target kami naik jadi 98 persen. Keuntungan dari pencapaian target ini, masyarakat Kota Semarang yang belum memiliki jaminan kesehatan saat berobat di rumah sakit dalam hitungan jam bisa langsung terdaftar. Padahal normalnya diproses 14 hari," terangnya. (afn/jti/raf/dro)