Miftach menuturkan, 26 Desember ditetapkan sebagai hari pantangan melaut karena pada setiap tanggal tersebut adanya peringatan bencana alam gempa dan tsunami di Aceh.
Apalagi sebagian besar korbannya adalah keluarga nelayan.
"Pantangan ini satu hari penuh, mulai dari tenggelamnya matahari sampai dengan tenggelamnya matahari hari sehari setelahnya," kata Miftach.
Miftach juga menyebutkan, hari pantangan melaut di Aceh sesuai hukum adat yang telah ditetapkan yakni saat hari Jumat (sehari penuh).
Kemudian, hari raya Idul Fitri (tiga hari berturut-turut), hari raya Idul Adha (tiga hari berturut-turut).
Selanjutnya, pada hari kenduri laot (tiga hari berturut-turut), hari kemerdekaan atau HUT RI pada 17 Agustus (sehari penuh), dan hari peringatan tsunami pada 26 Desember (sehari penuh).
Doa Bersama
Mengenang musibah tsunami Aceh yang terjadi 17 tahun lalu, komoditas kesenian Rangkang Sastra Bireuen menggelar doa dan zikir bersama di objek wisata Kuala Raja, Kuala, Bireuen.
Kegiatan ini berkat kerja sama dengan AMPI Bireuen, Lem Mukhlis, IMKJ dan Sapma PP Bireuen.
Baca juga: Gempa M 5,6 Guncang Maluku, Tidak Berpotensi Tsunami
Renungan terhadap musibah tsunami dengan tema Reunung Ie Beuna dalam rangka memperingati 17 tahun tsunami.
Selain doa bersama juga dilakukan peugleh pasie (gotong royong bersihkan pantai) dan gelar karya.
Amatan Serambi, para peserta umumnya mengenakan pakaian warna hitam melakukan zikir dan doa bersama.
Mereka menghadirkan Tgk Mahdi Juned, imum gampong setempat memimpin doa bersama.
Ketua panitia, Imamul Muttaqin kepada Serambi, mengatakan, Rangkang Sastra bersama lintas organisasi kepemudaan dan lainnya bersama-sama mengenang musibah 17 tahun lalu.