"Awalnya ritual memang dilakukan di pinggir pantai, tak sampai masuk ke dalam air. Kemudian di situ mereka membaca doa-doa, lalu melakukan tabur bunga ke arah laut dengan cara bergandengan tangan, satu dengan yang lain, dua barisan merapat sampai masuk ke dalam air," jelas Hary.
"Ada kegiatan ritual yang digunakan untuk menyucikan diri dengan cara mandi di air laut tersebut," lanjutnya.
Ketika kejadian berlangsung, Hary mengatakan salah satu korban mengaku tak melihat datangnya ombak yang datang secara tiba-tiba.
Ombak itu membuat para pelaku ritual tergulung.
"Cerita mereka saat kejadian, mereka tak melihat, tiba-tiba ombak datang menerjang, dan tergulung ombak," jelasnya.
"Memang di kawasan tersebut terdapat cerukan. Ketika seseorang berdiri di bibir pantai, kita tidak bisa melihat ombak yang datang dari depan. Karena di situ ada tebing yang menghalangi pandangan," lanjutnya.
Hary mengatakan pihak pantai sudah memberikan imbauan terkait cuaca ekstrem yang memengaruhi pergerakan ombak di pantai tersebut.
Namun, ketua kelompok ritual tak mengindahkan imbauan itu.
"Di pantai tersebut sudah diberikan imbauan, utamanya pada cuaca yang ekstrem atau dirasa kurang bagus. Pada saat rombongan ritual datang, pengelola juga sudah memberikan peringatan. Namun, ketua kelompok tetap melaksanakan kegiatan tersebut," jelasnya.
Pihaknya bersama dengan pemerintah akan melakukan koordinasi berupa antisipasi agar kondisi sama tak terulang lagi.
"Berkoordinasi dengan bupati, kami akan memasang papan larangan di lokasi kejadian, supaya tak ada ritual yang berulang. Masyarakat sekitar akan diberdayakan untuk mengawasi. Jika ada ritual serupa bisa diinformasikan kepada polsek," pungkasnya.
Ada Korban Anggota Polri
Dari 11 orang yang meninggal, ada seorang korban bernama Febri.
Dia berstatus sebagai anggota Polri berpangkat Ipda.
Almarhum memiliki nama lengkap Febriyan Dui P, yang merupakan Bintara Polsek Pujer, Polres Bondowoso.
Masuknya Ipda Febri dalam korban ritual maut di Pantai Payangan disampaikan Kasat Polairud Polres Jember AKP M Nai.
“Dia sebagai anggota juga,” ucap AKP M Nai.
“Semua sudah ditemukan, jumlah total korban meninggal dunia ada 11 orang,” imbuh dia.
Nai menjelaskan, untuk korban terakhir bernama Syaiful, warga Kecamatan Ajung, Kabupaten Jember, ditemukan tidak jauh dengan 10 orang korban lainnya.
Sebanyak 13 orang selamat, yakni Dimas (17), Bayu (21), Bu Hasan (55), Bu Dewi (48), Nuriya Fifa Kirana (2), Nurhasan (35), Feri (20), Bintang (19), Eko (35), Dani (21), Jumadi (35), Suari (50) dan Muhammad Afif.
Proses evakuasi dan pencarian korban melibatkan unsur SAR gabungan di antaranya tim operasi Pos SAR Jember, Sat Samapta Polres Jember, Satpolairud Jember, Kamla Puger, Polsek Ambulu.
Saat ini pihak keluarga korban belum bisa mengambil jenazah anggota mereka karena harus menunggu proses identifikasi lebih dulu.
Tercatat ada 3 orang mengalami luka-luka akibat digulung ombak Pantai Payangan.
Tim medis Puskesmas Ambulu dibantu tim Inafis Polres Jember, tengah memeriksa dan mengidentifikasi 10 korban tewas saat ritual di Pantai Payangan.
Sedangkan 10 orang lainnya yang dinyatakan selamat dari ritual berujung maut di Pantai Payangan masih dalam perawatan medis.
Kondisi pasien lemah dan mengalami sesak napas usai tenggelam.
Langgar Pantangan
Terungkap, para pelaku ritual dari Jamaah Tunggal Jati Nusantara yang digulung ombak Pantai Payangan ternyata melanggar larangan setempat.
Bukan rahasia umum, Pantai Payangan di Dusun Payangan, Desa Sumberrejo, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, ini kerap jadi tempat ritual.
Mereka yang melakukan ritual di sini kebanyakan komunitas di sekitar Jember dan daerah lainnya.
Pantai Payangan di pesisir selatan Jawa ini dikenal memiliki gelombang yang cukup tinggi.
Beredar informasi dari warga, para pelaku ritual ilmu kanuragan ini menantang ombak besar yang datang.
Sebanyak 24 orang dari padepokan Jamaah Tunggal Jati Nusantara yang melakukan ritual, salah satu yang selamat bernama Bayu.
Bayu menjelaskan, mereka datang untuk meditasi di tepi Pantai Payangan.
Mulanya, pengikut ritual ini berangkat dari Desa Dukuhmencek, Kecamatan Sukorambi pada Sabtu (12/2/2022) malam.
Tujuan rombongan warga dari berbagai kecamatan di Jember ini untuk menggelar ritual di area Pantai Payangan dan Pantai Watu ulo.
Jam menunjukkan pukul 23.30 WIB saat rombongan tiba di kawasan pantai. Kemudian, rombongan mempersiapkan diri untuk ritual bersama di pinggir pantai.
“Meditasi,” kata Bayu dalam Breaking News Kompas TV, Minggu (13/2/2022).
Saat meditasi di pinggir laut, tiba-tiba ombak besar datang dan menyeret pengikut ritual.
“Ada ombak dua kali datang. Ombak pertama ini saya berdiri terus lari saya menghindari ombak kedua,” cerita Bayu.
Petugas pantai saat itu sudah memperingatkan para pelaku ritual agar tidak beraktivitas di sekitar pantai karena ombak sedang tinggi.
“Rombongan itu tetap ke pantai untuk ritual,” kata Kapolsek Ambulu AKP Makruf dikonfirmasi terpisah.
Tak mengindahkan masukan petugas pantai, tepatnya Minggu sekitar pukul 00.25 WIB, mereka yang ikut ritual digulung ombak.
Belakangan terungkap, para pelaku ritual meditasi dari padepokan Jamaah Tunggal Jati Nusantara itu telah melanggar pantangan.
Bentuk Pantai Payangan memanjang, memang ada area yang terbuka dan khusus untuk wisatawan karena ombaknya relatif landai.
Sementara di sisi lain pantai, merupakan lokasi terlarang untuk wisatawan.
“Sebelah kanan tidak dikhususkan untuk wisatawan. Jadi tertutup untuk wisatawan," ujar Imron dalam laporannya di Breaking News Kompas TV.
"Jadi di tengah pantai ada pembatas dari jaring nelayan, agar wisatawan tidak masuk ke titik pantai sebelah kanan,” terangnya.
Lokasi pantai yang tertutup untuk pengunjung tersebut kondisinya memang cukup membahayakan.
“Bisa kami pastikan korban yang melakukan ritual melewati batas pagar yang telah dibuat oleh pengelola wisata."
"Jadi ritualnya dilakukan di mana itu tidak boleh dikunjungi oleh wisatawan,” tegas Imron berdasar keterangan pengelola.
Di lokasi itu terdapat tulisan bahwa pengunjung dilarang masuk ke pantai ini.
Sumber: Kompas.TV/Tribun Jatim/Tribun Jakarta