TRIBUNNEWS.COM, MEDAN- Mijan Siregar, satu dari tiga terdakwa korupsi Dana Amanah Pemberdayaan Masyarakat (DAPM) Kecamatan Padang Bolak Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), menangis terisak-isak di Pengadilan Tipikor Medan.
Wanita berusia 55 tahun itu terlihat berulangkali menyeka air matanya menggunakan kerudung.
Ia berulangkali menundukkan kepalanya dalam-dalam, saat dicecar sejumlah pertanyaan.
Karena terus menerus menangis selama persidangan, majelis hakim meminta agar terdakwa Mijan fokus dan memberikan keterangan yang sebenarnya.
Baca juga: Direktur Utama Citilink Diperiksa Terkait Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Pesawat Garuda
"Jadi mau dibilang apa lagi? Waktu di PNPM Mandiri saudara pernah jadi pengurus. Kalau begitu kondisinya seharusnya saudara menolak jabatan itu. Perkara ini menyangkut keuangan negara Bu," kata hakim ketua Bambang Joko Winarno, Jumat (18/2/2022).
Dalam sidang tersebut, Ketua Unit Pengelola Kegiatan (UPK) DPAM Tanti Tarida Harahap, mengungkapkan bahwa DAPM yang sudah disalurkan ke masyarakat kurang mampu itu ternyata bermasalah, karena macet dalam pengembaliannya.
Tidak tanggung-tanggung, Tanti mengaku tunggakan kelompok masyarakat yang menerima DPAM mencapai setengah miliar lebih.
Baca juga: Kejati Banten Tahan 3 Tersangka Bekas Direktur Bank Syariah Kasus Korupsi Pembelian Kapal
"Ada sekitar 30 kelompok yang menunggak pak. Dengan total uang sekitar Rp 600 jutaan pak, semua data sudah dibawa ke kejaksaan pak, jadi saya tidak bisa paparkan rinciannya," kata Tanti usai dicecar hakim.
Tanti mengaku usai kasus ini mulai bergulir di kejaksaan, pihaknya sudah berupaya menagih dana kelompok masyarakat yang menunggak, namun hasilnya tidak memuaskan.
"Seperti penunggakan itu, langsung kami datang ke desa, tapi banyak masyarakat yang enggak mampu bayar. Ada karena faktor ekonomi, ada yang suami meninggal jadi gak sanggup bayar," ucapnya.
Persidangan pun sempat berlangsung alot, sebab setelah dua jam diperiksa para terdakwa belum mampu menerangkan secara jelas bagaimana perkara ini mengakibatkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,8 miliar.
"Saat masyarakat menyetor apakah ada yang terlupa buat dicatat? Bagaimana Rp 2,8 itu bisa hilang?," cetus hakim.
Lantas, Masreni menimpali bahwa jika ada masyarakat yang menyetor ia akan langsung mencatat dan menyetor uang tersebut di bank.
Namun di persidangan juga terungkap bahwa masyarakat juga dapat melakukan pembayaran kepada pengurus lainnya di rumah.