TRIBUNNEWS.COM, BANGLI - Minyak kelapa tradisional Bali atau yang lebih dikenal dengan lengis tandusan merupakan salah satu produk olahan minyak tanpa bahan pengawet.
Minyak tradisional ini sangat dicari oleh masyarakat.
Salah satu perajin lengis tandusan yakni Kadek Mega. Pria asal Banjar Tegal, Kelurahan Bebalang, Bangli itu telah memulai usaha ini sejak 22 tahun lalu bersama sang istri Luh Putu Sri Utami Dewi.
Namun siapa sangka, Kadek Mega sebelumnya sempat dirumahkan, akibat dampak bom Bali pada 2002 silam.
Kadek Mega mengungkapkan, ia menjadi perajin lengis tandusan sejak 2000. Awalnya produksi lengis tandusan hanya sebagai pekerjaan sampingan. Sebab kesehariannya ia bekerja di rumah makan wilayah Kuta, Badung.
"Namun karena bom Bali tahun 2002, akhirnya saya dirumahkan. Dari tahun itulah mulai serius menjadi perajin minyak tandusan," ucapnya saat ditemui di rumah produksi lengis tandusan, Rabu (16/3).
Dari hasil lengis tandusan ini, Kadek Mega mampu menyekolahkan dua anaknya hingga tingkat perguruan tinggi. Bahkan salah satu anaknya sampai tingkat S2 di kampus Singaraja.
"Sekarang anak pertama saya sudah jadi guru, sedangkan yang kedua jadi kerja di Lapastik Bangli," ujarnya.
Di tengah kesibukannya, Kadek Mega mengatakan, lengis tandusan ini banyak peminatnya, terutama untuk keperluan kuliner Bali.
Beberapa yang paling terkenal yakni Lawar, Mujahir Nyat-nyat, hingga sambal matah. Diyakini masakan yang diolah menggunakan minyak tandusan memiliki citarasa yang khas dan aroma yang lebih wangi.
"Bisa juga digunakan untuk minyak urut," ucapnya.
Sembari mencongkel isi kelapa, pria paruh baya itu mengatakan, dalam sehari ia membutuhkan 80 hingga 100 butir kelapa untuk proses produksi. Dari jumlah tersebut Kadek Mega bisa menghasilkan 15 hingga 20 botol lengis tandusan ukuran 600 mililiter.
Kadek Mega menjelaskan, proses pembuatan lengis tandusan membutuhkan waktu sekitar 11 jam. Mula-mula pihaknya menyisihkan kulit kelapa dan menyisakan batok kelapanya saja. Setelah itu, batok kelapa dibelah untuk dihilangkan airnya, lalu mencongkel isi kelapa.
Seluruh isi kelapa yang sudah dicongkel kemudian dibersihkan dengan air. Kali ini giliran sang istri Luh Putu Sri Utami Dewi yang mengerjakan. Setelah semua bersih, satu demi satu kelapa dimasukkan dalam mesin parut.
Selanjutnya hasil parutan kelapa diberi air, untuk diambil santannya. Kemudian santan yang telah terkumpul direbus menggunakan kompor kayu bakar.
"Penggunaan kayu bakar untuk merebus santan lebih hemat biaya daripada menggunakan kompor gas. Selain itu apinya juga lebih besar, sehingga waktu yang dibutukan merebus santan lebih cepat," ucap Sri.
Ia mengakui proses merebus santan ini adalah yang paling lama. Karena membutuhkan 4 jam. Setelah proses merebus, selanjutnya didinginkan untuk diambil minyaknya.
"Nah setelah minyaknya diambil, kemudian digoreng lagi biar hasilnya jernih dan lebih enak," kata dia.
Peminat minyak tandusan tergolong banyak. Kadek Mega biasanya menjual ke pasar hingga rumah makan.
Minyak tandusan dijual Rp 20 ribu per botol untuk umum, dan Rp 18 ribu hingga 19 ribu per botol untuk pedagang.
Walaupun banyak peminat, Kadek Mega mengaku tidak bisa memenuhi permintaan pasar. Hal ini karena cukup sulit mencari kelapa yang sudah tua.
Harga yang ditawarkan padanya juga variatif, mulai Rp 4 ribu hingga Rp 7 ribu per butir.
"Kalau saya biasanya beli dari petani-petani sekitar. Biasanya mereka jual Rp 4 ribu per butir. Selain itu juga keterbatasan tenaga. Karena hanya dikerjakan saya dan istri. Anak ikut membantu, namun saat mereka libur kerja. Oleh sebab itu kami tidak bisa menerima pesanan," ungkapnya.
Memang diakui dengan perbandingan harga jual dan harga bahan baku tersebut, pihaknya tergolong merugi.
Sebab untuk membuat satu botol minyak tandusan ukuran 600 mililiter butuh 5 butir kelapa. Kendati demikian pasutri asal Banjar Tegal, Kelurahan Bebalang, Bangli itu mengakui seluruh komponen kelapa memiliki nilai jual.
Misalnya, batok kelapa yang masih utuh setengah lingkaran. Kata Kadek Mega, barang ini kerap dicari orang dari Kayubihi, Bangli untuk dijadikan kerajinan. Harga per batok kelapa dijual Rp 700.
Sementara batok kelapa yang pecah dijual per karung Rp 20 ribu untuk dijadikan arang.
Selain itu sisa parutan kelapa bisa dijual sebagai pakan ternak. Biasanya dihargai Rp 10 ribu per kresek. Begitu pun dengan sari ampas minyak tandusan atau dikenal dengan clengis, bisa dijual untuk dijadikan makanan. Harga per kilonya Rp 20 ribu.
"Dengan seluruh kelapa itu bisa mendapatkan 10 kilo clengis. Dari sinilah kami dapat untung," tandasnya. (m fredey mercury)
Baca juga: Cipto Bangkit dari Keterpurukan Pasca Ditinggal Kabur Bosnya, Kini Bisnis Kulinernya Kinclong