TRIBUNNEWS.COM, JAYAPURA - Ia dituduh separatis dan penghambat pembangunan. Tapi Zakarias Bonyadone, Ondoafi Kampung Maribu yang kini sudah berusia 70-an tahun itu, tak pernah mundur selangkah pun ketika ia dan sejumlah tua-tua adat di Tanah Papua, terus “berteriak” tentang aksi para penguasa bersama para pemilik modal yang pencaplokan tanah adat untuk dijadikan lahan usaha.
“Saya dituduh separatis dan penghambat pembangunan ketika saya bicara tentang hak-hak masyarakat adat, seperti tanah dan hutan. Saya dicap sebagai penghambat pembangunan,” ujar Zakarias Bonyadone menceritakan perjuangannya bersama tua-tua adat lainnya di Tanah Papua ketika ditemui di Kampung Dosai pada Selasa (18/10/2022).
Perjuangan Zakarias Bonyadone di Kampung Maribu, Distrik Sentani Barat, Kabupaten Jayapura, hanya contoh dari tindakan negara dan pemerintah yang belum mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya. Padahal, masyarakat adat sudah ada, jauh sebelum negera terbentuk.
Menurut buku “Mathius Awoitauw – Penggagas Kebangkitan Masyarakat Adat Papua,” yang ditulis oleh Paskalis Keagop tahun 2021, disebutkan bahwa masyarakat adat sudah ada, jauh sebelum negera terbentuk.
Tetap hingga usia Negera Republik Indonesia memasuki usia 72 tahun (17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2017), keberadaan masyarakat adat tidak pernah diakui.
Eksistensinya diabaikan dan seluruh kekayaan sumber daya alam diklaim milik Negara. Bukan milik masyarakat adat.
Perjuangan Zakarias Bonyadone hanyalah contoh dari Perlakukan negara dan pemerintah terhadap masyarakat adat di Papua. Perlakukan ini juga dialami masyarakat adat se-Nusantara.
Hal inilah yang membuat masyarakat adat se Indonesia bersatu membentuk sebuah wadah yang kemudian diberi nama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Dalam buku “Mathius Awoitauw – Penggagas Kebangkitan Masyarakat Adat Papua,” diungkapkan bahwa, kemudian masyarakat Adat yang tergabung dalam AMAN melakukan suatu gerakan untuk bangkit memperjuangkan hak-haknya yang selama ini tidak pernah dihargai dan dihormati oleh negera.
“AMAN menganggap, negara sudah terlalu lama mengabaikan eksistensi dan hak-hak masyarakat adat,” tulis Paskalis Keagop dalam bukunya itu.
Di Jayapura, keadaan ini membuat Yayasan Kerjasama Pendidikan Hukum Masyarakat Irian Jaya (YKPHM-Irja), sejak tahun 1988 berjuang berjuang dan mendampingi masyarakat adat hingga kini. Pendampingan itu dilakukan agar keberadaan masyarakat adat bisa diakui oleh negara.
Paskalis Keagop dalam bukunya itu menjelaskan, bahwa Zadrak Wamebu, mantak Direktur Pt. PPMA, terus melakukan pendampingan kepada masyarakat adat selama 37 tahun.
Menurut Zadrak Wamebu yang juga mantan Wakil Bupati Kabupaten Jayapura mengatakan, gejolak masyarakat adat, khususnya di Papua, dimulai dengan adanya program transmigrasi yang mencaplok ribuan tanah adat secara grartis, kemudian pencaplokan atau perampasan hak atas tanah adat itu dilakukan oleh perusahaan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH), perusahaan pertambangan dan perkebunan.
“Banyak tanah masyarakat adat diambil oleh negara, karena negara menganggap tanah-tanah itu dikuasai Negara. Jadi hak masyarakat atas tanah adat, juga hak Negara,” ujar Zadrak Wamebu, seperti yang ditulis Paskalis Keagop dalam buku dalam “Mathius Awoitauw – Penggagas Kebangkitan Masyarakat Adat Papua.”
Negara tidak pernah memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk bisa berunding dengan pihak pemerintah dan investor.
“Kalau kita melawan, dicap separatis dan penghambat pembangunan. Bahkan kita harus berhadapan dengan moncong senjata,” kenang Zakarias Bonyadone, Ondoafi Kampung Maribu itu.
Menurut Ondofolo Kampung Bambar, Doyo Baru, Orgenes Kaway, bahwa jeritan masyarakat adat tentang hak dan martabatnya, cenderung terabaikan. Bahkan masyarakat adat yang merupakan salah satu kelompok utama dan terbesar jumlahnya, paling banyak dirugikan dan selalu menjadi korban politik pembangunan selama tiga dasawarsa terakhir ini.
“Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi, baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya,” kata Orgenes Kaway kepada newguineakurir.com di Kolam Renang Alami di Kampung Bambar, Rabu (14/9/22) ketika Tim Media Centre Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI melakukan liputan tentang persiapan Kampung Bambar sebagai tempat serasehan KAMAN.
Tapi ketika runtuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, barulah masyarakat adat seluruh Nusantara berkumpul dan membuat pernyataan. “Kalau Negara tidak mengakui masyarakat adat, maka masyarakat adat di Nusantara, tidak pernah akan mengakui negara ini.” Inilah pernyataan politik masyarakat adat yang dibuat setengah abad atau 50 tahun Indonesia merdeka.
Dalam Kongres Masyarakat Adat (KMAN) I pada 17 – 22 Maret 1999 di Hotel Indonesia di Jakarta, telah menghasilkan Pandangan Dasar tentang “Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara” yang dengan keras menegaskan bahwa Masyarakat Adat telah lebih dulu ada sebelum adanya Negara. Oleh sebab itu, “Jika Negara Tidak Mengakui Kami, maka Kamipun Tidak akan Mengakui Negara.”
Tiga bulan kemudian, setelah pernyataan politik dari masyarakat adat itu dikeluarkan, lalu Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) RI bersidang dan mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 18 b UUD 1954 itu dinyatakan dengan tegas, Negara mengakui masyarakat adat. Padahal,
Dalam buku yang ditulis Paskalis Keagop itu, bahwa selama ini hak-hak masyarakat adat itu dilanggar, sehingga mereka tetap lawan. Hal ini sudah terjadi cukup lama. Di Papua Pt PPMA terus berperan untuk menjembatangi masyarakat masyarakat adat dan bagaimana negara dapat mengatur dalam berbagai kebijakan supaya tidak terjadi tindakan-tindakan anarkis.
“Kalau kita lawa Negara, tidak mungkin. Jadi kami berperan untuk menjembatangi supaya negara dan pemerintah serta masyarakat dapat mengerti. Kalau di adat, kita melewati batas tanahnya saja, bisa perang. Tapi kalau tanah-tanah masyarakat adat diambil negara, masyarakat adat, tidak mungkin berperang melawan negara. Di sinilah Pt. PPMA berperan supaya tidak ada tindakan anargi,” ungkap Zadrak Wamebu.
Tahun 1999 itu banyak undang-undang berubah tetapi rohnya tidak berubah. Perubahan itu terjadi setelah masyarakat adat sendiri menggugat pasal 67 Undang-Undang tentang Kehutanan yang menyebutkan, bahwa hutan masyarakat adat itu masuk dalam hutan Negara. Oleh karena itu, masyarakat adat melalui AMAN menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MA) RI, lalu Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hutan masyarakat adat menjadi hak masyarakat adat dan bukan hutan Negara.
Keputusan MA itu menjadi yurisprudensi lalu Presiden RI Susilo Bambang memerintahkan itu dibuat dalam berbagai regulasi supaya hak-hak masyarakat adat itu diakui.
Di Kabupaten Jayapura langsung direspon oleh Bupati Jayapura Mathius Awoitahuw. Pada masa jabatan periode pertama 2012 – 2017, Mathius Awoitahuw memulai dengan berbagai kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.
Masyarakat adat tidak pernah didengar dan tidak pernah disebutkan dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di kabupaten Jayapura karena masyarakat adat dianggap tidak pernah ada
“Masyarakat adat itu penting karena mereka ada, sebelum masuknya agama dan pemerintahan. Mereka memiliki struktur kelembagaan, nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan serta wilayah dan segala isinya. Namun eksitensinya tak pernah diakui negara,” kata Mathius, sang Bupati Jayapura itu.
Mathius memahami kondisi ini dengan sangat baik karena ia lahir dan tumbuh dewasa dalam tatanan adat Sentani yang sangat ketat. Ayahnya bernama Yohanes Awoitahu, sebagai Ondoafi Kampung Puai, tapi perannya tak pernah dianggap dalam penyelenggaraan pemerintahan di kampungnya.
Pengalaman hidup masa kecilnya sebagai anak adat, membuatnya ingin memberikan peran dan ruang yang seluas-luasnya bagi masyarakat adat untuk ikut aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Cita-cita ini diwujudkan Mathius maju dan terpilih Bupati Jayapura periode 2012-2027. Ia membawa visi dan misi yaitu : Jayapura baru yang berjati diri dan pembangunan yang bermartabat pada budaya sendiri.
Baru satu tahun jadi Bupati Kabupaten Jayapura, Mathius mendeklarasikan Kebangkitan Masyarakat Adat di Kabupaten Jayapura pada 24 Oktober 2013.
Deklarasi kebangkitan masyarakat adat yang dilakukan Matius di Kabupaten Jayapura mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Ada yang mendukung dan ada pula yang kontra bahkan mengkritik seorang Matius itu habis-habisan.
Walau Mathius mendapat tantangan dari berbagai pihak, ia tetap melangkah dan membawa masayarakat adat di Kabupaten Jayapura untuk bangkit dan menata jati dirinya.
Untuk itu, Ondoafi dari Kampung Maribu, Zakarias Bonyadone menilai, Kongres Masyarakat Adat (KMAN) ke-IV ini, sebagai ajang untuk kita memberitahukan tentang perjuangan masyarakat adat di Kabupaten Jayapura yang telah menjadi satu gerakan untuk membangitkan masyarakat adat di Tanah Papua.
Zakarias Bonyadone, adalah salah satu peserta yang turut serta dalam kegiatan KMAN V pada lima tahun lalu di Deli Serdang Sumatera Utara.
Bagaimana hasilnya, setelah sembilan tahun kebangkitan masyarakat adat di Kabupaten Jayapura? Ikuti, ulasan berikutnya. (Krist Ansaka/Vichky Done)