Tarian itu kemudian dikembangkan oleh Ni Ketut Reneng pada 1950.
Kala itu, Pendet menampilkan empat orang penari dalam pertunjukannya.
Kemudian pada 1961, I Wayan Beratha mengembangkan Tari Pendet dengan menambah penari menjadi lima.
Namun pada saat penyambutan para kepala negara, jumlah penari bertambah hingga puluhan.
Baca juga: Tiba di Bali Untuk KTT G20, Kehadiran Joe Biden Disambut Tari Pendet
Seiring perkembangan zaman, para seniman kemudian mengembangkan tarian yang semula hanya berfungsi sebagai tari upacara berkembang menjadi tari hiburan (balih-balihan) yang berfungsi sebagai tari penyambutan atau tarian selamat datang untuk para tamu.
Menurut Dibia dalam setiap gerakan tari yang berusia lebih dari 70 tahun itu tersirat pesan kebersamaan dan kesatuan rasa.
Di dalam tarian itu tidak ada ekspresi individu.
Semuanya merupakan ekspresi kelompok sehingga rasa kebersamaan sangat dipentingkan.
“Dengan seni kita bisa mengusik kesadaran para pimpinan negara bahwa kita memang harus bersama-sama dalam menghadapi kondisi dunia seperti sekarang ini.
Oleh karenanya, pas sekali kalau tarian ini dibawakan menyambut delegasi G20.
Itu kan misi untuk kebersamaan para kepala negara supaya bersama-sama memikirkan kondisi dunia tanpa pilih kasih,” katanya.
Baik tari pendet upacara maupun tari pendet penyambutan sama-sama menggunakan janur. Pada tari pendet upacara, janur berfungsi sebagai ubo rampe sesaji.
Sedangkan pada tari pendet penyambutan (puja astuti), janur adalah dekorasi yang bersifat mempercantik properti.
“Lalu untuk kostum, penari memakai selendang kuning merah sebagai simbol kehormatan.