Sejarawan Bangka Belitung Akhmad Elvian, dalam buku berjudul Kampoeng di Bangka menyebutkan, Pulau Tujuh yang berada di utara Bangka, sejak lama menjadi jalur pelayaran strategis Nusantara.
Rute dagang itu dirintis sejak masa kerajaan Sunda pada abad ke-16, kemudian berganti dengan pengaruh Kesultanan Banten hingga akhirnya Kesultanan Palembang.
Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1857, Pulau Tujuh atau disebut juga Kadjangan oleh pemerintahan Hindia Belanda dinyatakan masuk kerajaan Melayu Riau, Lingga.
Polemik kepemilikan Pulau Tujuh mencuat saat disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Beleid itu merinci wilayah Bangka Belitung sebelah utara berbatasan dengan Laut Natuna, sehingga diasumsikan gugusan Pulau Tujuh berada di dalam batas yang masuk wilayah Kepulauan Bangka Belitung.
Sementara Pulau Pekajang yang menjadi bagian dari Pulau Tujuh dimasukkan ke dalam Kabupaten Lingga berdasar UU Nomor 31 Tahun 2003.
Permasalahan tersebut telah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) namun belum ada keputusan inkrah (tetap).
Status kepemilikan Pulau Tujuh menjadi penting seiring dibahasnya rancangan undang-undang (RUU) daerah kepulauan yang berimplikasi pada perimbangan bagi hasil sumberdaya alam.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com