TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penegak hukum terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta mengusut dugaan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) pencaplokan Pulau Tujuh milik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) oleh Pemerintah Kabupaten Lingga, Provinsi Kepualauan Riau.
“Karena banyak kepentingan para ‘baron’ timah yang selama ini sangat merugikan PT Timah yang sama artinya dengan merugikan negara, karena PT Timah adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” kata Johan Murod Babelionia, Deklarator Dewan Pemuda Bangka Belitung, dalam rilisnya, Senin (5/12/2022).
Dewan Pemuda Bangka Belitung ini mencatat, Kepri juga pernah mencaplok Pulau Berhala dari Provinsi Jambi, dan setelah diselesaikan di tingkat pusat dan kini Pulau Berhala sudah dikembalikan ke Provinsi Jambi.
“Kasus caplok Pulau Berhala mirip dengan cara Kepri mencaplok Pulau Tujuh. Diduga ada unsur KKN di balik pencaplokan Pulau Berhala dan Pulau Tujuh ini,” kata Johan Murod.
Johan Murod lalu berkisah masyarakat Bangka Belitung (Babel) tidak saja kehilangan pulau dan laut yang luas akan tetapi juga akan kehilangan marwah jika Pulau Tujuh tidak dikembalikan kepada yang berhak yaitu Provinsi Babel.
“Masyarakat Babel adalah masyarakat Melayu yang mendiami rentang tanah Melayu. Melayu itu kehilangan harta tak mengapa, tapi jika kehilangan marwah, akan perang hingga berkalang tanah,” jelas Johan Murod yang juga Datuk Penglima Negeri Serumpun Sebalai ini.
Baca juga: Terletak di Pulau Terpencil, SMAN 3 Lingga Kepulauan Riau Lolos Seleksi Kompetisi Sains Nasional
Menurut Johan, penempatan Dr Ir Ridwan Djamaluddin MSc sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Babel, sebelumnya menjabat Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan sebelumnya lagi menjabat Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, ternyata sangatlah tepat.
“Terbukti dengan kinerjanya yang berhasil menyelesaikan berbagai masalah, termasuk Pulau Tujuh milik Provinsi Babel yang ‘dicaplok’ Kabupaten Lingga,” paparnya.
Pada 1 Desember 2022, kata Johan, selepas Isya di rumah dinas gubernur di Kompleks Perkantoran Gubernur Babel diselenggarakan rapat Pj Gubernur beserta staf terkait, pakar hukum dari Jakarta, dan tokoh-tokoh masyarakat Babel mendiskusikan ihwal pencaplokan Pulau Tujuh milik Provinsi Babel oleh Kabupaten Lingga.
Dalam presentasinya, kata dia, pakar hukum dari Jakarta tersebut menjelaskan fakta hukum bahwa Pulau Tujuh adalah milik Provinsi Babel berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
"Dalam UU Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Pulau Tujuh tidak termasuk dalam Provinsi Kepri karena secara fakta hukum pulau tersebut memang milik Provinsi Babel,” cetusnya.
Ironisnya, kata Johan, “ujug-ujug” (tiba-tiba), dalam UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga, Pulau Tujuh milik Provinsi Babel “dicaplok” kepemilikannya oleh Kabupaten Lingga.
“Tentu hal ini sangat melanggar hukum dan asas tata pemerintahan yang baik (good governance), karena pembentukan atau pun pengembangan daerah otonomi baru melewati batas provinsi induknya, dan mencaplok Pulau Tujuh milik Provinsi Babel. Bahkan Kabupaten Lingga dalam hal ini tidak saja melanggar batas wilayah Provinsi Babel ketika mencaplok Pulau Tujuh, akan tetapi juga melanggar batas wilayah Provinsi Jambi,” tukasnya.
“Dalam memberi kode wilayah baru, ternyata Kementerian Dalam Negeri kurang hati-hati. Tidak saja Kabupaten Lingga telah melanggar hukum, tapi patut diduga melakukan ‘penyelundupan hukum’ dengan memasukkan nama-nama pulau yang berada pada gugusan Pulau Tujuh, sehingga dapat dikatakan Kemendagri telah mengesahkan atau melegalkan Kabupaten Lingga melanggar hukum dalam pembentukan Kabupaten Lingga, dengan memasukkan Pulau Tujuh milik Provinsi Babel ke wilayahnya sehingga melanggar pula tata kelola pemerintahan yang baik, di mana perbatasan Provinsi Babel dan perbatasan Provinsi Jambi telah dilanggar. Sebab itu, KPK perlu mengusut kasus ini. Patut diduga terjadi KKN,” tegasnya.
Menurut Johan, jarak Pulau Tujuh dengan Bangka Utara hanya 30 mil laut.
Namun jarak Pulau Tujuh dengan Kabupaten Lingga sangatlah jauh yaitu 60 mil laut atau dua kali lipatnya.
Oleh karena itu, pada umumnya dalam berbagai aspek kehidupannya, masyarakat Pulau Tujuh lebih berorientasi ke Pulau Bangka, Provinsi Babel.
“Jika Pulau Tujuh milik Provinsi Babel tidak dikembalikan oleh Kabupaten Lingga, tentu melanggar asas kepastian hukum yang berdampak pada Provinsi Babel yang akan kehilangan beberapa buah pulau dan laut yang sangat luas, sehingga nelayan Babel tidak lagi dapat menangkap ikan di sekitar ‘fishing ground’ di perairan Pulau Tujuh,” terangnya.
Tidak itu saja, lanjut dia, masyarakat Babel tidak saja kehilangan pulau dan laut yang luas, tapi juga akan kehilangan marwah jika Pulau Tujuh tidak dikembalikan.
“Sekali lagi, masyarakat Babel adalah masyarakat Melayu yang mendiami rentang tanah Melayu. Melayu kehilangan harta tak mengapa, tapi jika kehilangan marwah, akan perang hingga berkalang tanah,” tegas Johan Murod lagi.
Jarak Pulau Tujuh dengan Kabupaten Lingga yang sangat jauh tentu pada musim Barat maupun musim Tenggara, kata Johan, sangat membahayakan keselamatan pelayaran dan keselamatan rakyat.
“Bukankah keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi, atau ‘salus populi supreme lex esto’. Oleh karena itu, Kemendagri kiranya dapat mengembalikan kepemilikan Pulau Tujuh secepatnya kepada yang berhak, yaitu Provinsi Babel, sehingga Provinsi Babel tidak perlu melakukan ‘judicial review’ (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK),” tuturnya.
Jika Pulau Tujuh dikembalikan ke pemilik yang sah, yaitu Provinsi Babel, lanjut Johan, maka tentu saja provinsi ini akan memberikan perhatian yang lebih sehingga Pulau Tujuh dapat menjadi “garis pertahanan utama dan pertama” dalam menghadapi konflik Laut China Selatan, serta melakukan pemberdayaan ekonomi yang lebih masif untuk kesejahteraan masyarakat Pulau Tujuh, yang mana penyaluran bahan bakar minyak (BBM) dan sembilan kebutuhan pokok (sembako), serta pembinaan usaha perikanan bagi masyarakat Pulau Tujuh, termasuk kesehatan sangat didukung dari Bangka Utara.
“Secara historis sesungguhnya Pulau Tujuh adalah milik Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan provinsi induk pengembangan Provinsi Babel, sehingga ditinjau dari berbagai aspek, adalah merupakan suatu keadilan hakiki jika Pulau Tujuh tetap menjadi milik Provinsi Babel,” ucapnya.
“Opsi terbaik penyelesaian sengketa Pulau Tujuh milik Provinsi Babel yang dicaplok Kabupaten Lingga adalah Kemendagri segera mengesahkan Kabupaten Kepulauan Bangka Utara, dan Pulau Tujuh masuk ke wilayah Kabupaten Kepulauan Bangka Utara, Provinsi Babel yang mana usulan pembentukan daerah otonomi baru ini sudah disampaikan dengan berkas dan dokumen yang lengkap, sehingga Kemendagri mestinya dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan pepatah bijak Melayu, ‘menarik benang dalam tepung, benang ketarik tepung pun tak tumpah’,” urainya.
Di bagian lain, Johan Murod berpendapat langkah pemerintah pusat “memberi” 3 provinsi baru kepada rakyat Papua adalah langkah cerdas untuk percepatan pembangunan berbagai aspek.
Mengutip pendapat pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra, seharusnya pemerintah pusat menjadikan 50 provinsi di Indonesia, termasuk pengembangan beberapa kota dan kabupaten sehingga provinsi, kota dan kabupaten baru tersebut tidak hanya berkembang, tapi juga dapat menarik pajak negara dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan lebih optimal untuk negara.
“Seperti Bangka Belitung yang seharusnya punya 15 kota/kabupaten. Thailand saja yang luasnya hanya sebesar Pulau Sumatera, ada 78 provinsi. Hal demikian akan membuat NKRI semakin kuat secara politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan,” ucapnya.
“Meningkatnya status hukum suatu daerah akan meningkatkan status politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat daerah tersebut,” tandas Johan Murod.
Mengenal Pulau Tujuh
Pulau Tujuh hangat diperbincangkan karena status kepemilikannya yang masih menjadi polemik antara Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau (Kepri).
Pulau Tujuh bukanlan sebuah daerah dengan topografi pulau tunggal, melainkan berupa gugusan tujuh pulau.
Oleh karena itu, namanya populer dengan sebutan Pulau Tujuh. Masyarakat Tionghoa menyebutnya Chi Shu.
Pulau terbesar di Pulau Tujuh adalah Pekajang namun pulau ini belum berpenghuni.
Masyarakat Desa Pekajang yang berjumlah sekitar 137 kepala keluarga (KK) justru bermukim di Pulau Cibia atau Cebia dalam dialek masyarakat setempat.
Masyarakat menyebut Pulau Pekajang yang belum berpenghuni dengan nama Pekajang Besar dan Cibia sebagai Pekajang Kecil.
Enam pulau lainnya bernama Tukong Yu, Pasir Keliling, Penyaman, Lalang, Kembung dan Jambat.
Secara geografis gugusan Pulau Tujuh lebih dekat ke wilayah Bangka.
Yakni sekitar 3 jam perjalanan laut ke Teluk Limau, Parittiga, Bangka Barat atau 5 jam perjalanan ke Belinyu, Bangka.
Sedangkan dari Pulau Tujuh menuju Kabupaten Lingga dibutuhkan waktu sekitar 9 jam pelayaran.
Masyarakat Pulau Tujuh menggantungkan hidup dari hasil laut.
Mereka lebih banyak bertransaksi membeli kebutuhan pokok terutama es balok untuk mengawetkan ikan ke Kabupaten Bangka.
Sejarawan Bangka Belitung Akhmad Elvian, dalam buku berjudul Kampoeng di Bangka menyebutkan, Pulau Tujuh yang berada di utara Bangka, sejak lama menjadi jalur pelayaran strategis Nusantara.
Rute dagang itu dirintis sejak masa kerajaan Sunda pada abad ke-16, kemudian berganti dengan pengaruh Kesultanan Banten hingga akhirnya Kesultanan Palembang.
Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1857, Pulau Tujuh atau disebut juga Kadjangan oleh pemerintahan Hindia Belanda dinyatakan masuk kerajaan Melayu Riau, Lingga.
Polemik kepemilikan Pulau Tujuh mencuat saat disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Beleid itu merinci wilayah Bangka Belitung sebelah utara berbatasan dengan Laut Natuna, sehingga diasumsikan gugusan Pulau Tujuh berada di dalam batas yang masuk wilayah Kepulauan Bangka Belitung.
Sementara Pulau Pekajang yang menjadi bagian dari Pulau Tujuh dimasukkan ke dalam Kabupaten Lingga berdasar UU Nomor 31 Tahun 2003.
Permasalahan tersebut telah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) namun belum ada keputusan inkrah (tetap).
Status kepemilikan Pulau Tujuh menjadi penting seiring dibahasnya rancangan undang-undang (RUU) daerah kepulauan yang berimplikasi pada perimbangan bagi hasil sumberdaya alam.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com