News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kawin Tangkap di Sumba: Dinilai Langgar Hak Perempuan dan Anak, Dianggap Tak Relevan Lagi

Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Garudea Prabawati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aksi kawin tangkap di Sumba Barat Daya, NTT, yang viral di media sosial. Saat ini, kawin tangkap tidak lagi dianggap relevan. Bahkan, menurut KemenPPPA, kawin tangkap melanggar hak perempuan dan anak.

"Selain itu, ada peranan relasi kuasa dalam kasus-kasus kawin tangkap yang tidak selayaknya dilanggengkan,” ujar Ratna.

KemenPPPA sendiri sudah menyoroti soal kawin tangkap sejak lama lantaran dianggap mengandung unsur kekerasan dan eksploitasi.

Khususnya, pada tradisi kawin tangkap yang tak sesuai adat dan merugikan pihak perempuan, juga anak.

Baca juga: Kronologi Viral Kawin Tangkap di Sumba, Korban Teriak Minta Tolong, Pelaku Akui Ikut Perjodohan

Meski menjadi tradisi turun-temurun, kawin tangkap nyatanya dianggap melanggar hak perempuan dan anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sejak lama menilai tradisi tersebut mengandung unsur kekerasan dan eksploitasi.

Dikutip dari situs resmi KemenPPPA, kawin tangkap pada praktiknya berpotensi melanggar hak perempuan dan anak, menimbulkan kekerasan yang berlapis pada korban, hingga memicu dampak traumatis pada korban.

Terlebih, jika perempuan yang menjadi korban masih berusia anak-anak.

Menindaklanjuti peningkatan perlindungan terhadap perempuan dan anak terkait kawin tangkap, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) bersama Pemprov NTT, Pemda Kabupaten, dan Kapolres se-Sumba, menandatangani Nota Kesepahaman Bersama (Memorandum of Understanding/MOU) Kerja Sama Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba, pada Juli 2020.

MOU itu lantas kembali disinggung oleh Ratna Susianawati.

"Untuk itu, kami mohon aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap praktik kawin tangkap."

"Jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak," kata Ratna.

Ratna mengatakan, selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kasus ini dapat dijerat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yaitu Pasal 4 ayat (1) huruf e jo Pasal 10.

Sudah tidak relevan

Ilustrasi pernikahan (Freepik)

Antropolog dari Universitas Katolik Weetabula, Pater Doni Kleden, menilai tradisi budaya kawin tangkap sudah tidak relevan lagi sesuai kondisi sekarang.

Pada konteks zaman dahulu, kata Doni, kawin tangkap sah secara adat.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini