Anak kedua Jeihan yang juga mengikuti jejak sang ayah sebagai seniman, Azasi Adi menambahkan, kebanyakan seniman sering kehilangan ciri khas jika berhadapan dengan pasar.
Banyak seniman dengan mudah ikut arus tren, menanggalkan idealisme, untuk memuaskan kebutuhan pasar, yang ujung-ujungnya bicara soal periuk nasi.
"Bapak saya satu dari segelintir seniman yang bertahan dengan ciri khas, style melukisnya selama 50 tahun hingga tutup usia. Bapak saya pandai mempengaruhi orang, pandai "berdagang", mungkin karena beliau berdarah Tionghoa ya.
Jadi, Bapak itu menjual karya-karyanya sendiri tanpa bantuan dari galeri seni. Lama-lama pasar "dipaksa" menerima karya beliau, bukan beliau yang mengikuti maunya pasar. Itulah hebatnya Bapak," pujinya, mengenang sosok sang ayah yang memiliki nama Tionghoa Lim Tjeng Han itu.
Baca juga: Pameran Lukisan Dorong Gerakan Pemberdayaan Perempuan di Daerah
Ciri khas sosok "mata hitam" Jeihan, yang juga menjadi lukisan pertama yang dilihat pengunjung di Museum Puri Lukisan Ubud berjudul "Aku", adalah sebuah potret diri Jeihan yang melukis dirinya dengan selaput mata hitam kelam. Lukisan tersebut dibuat saat Jeihan masih menjadi mahasiswa seni rupa di Institut Teknologi Bandung pada 1963.
Lukisan inilah yang membuat Jeihan dikenal sebagai pelukis figur manusia bermata hitam. "Mata hitam" khas Jeihan merupakan metafora penting yang bisa dimaknai dengan berbagai cara.
Mata hitam bisa memberi kesan pandangan yang dingin, hampa, dan nyaris tanpa harapan. Sosok "mata hitam" juga bisa dimaknai sebagai mata batin, menyemburkan aura mistik dalam karya-karya Jeihan.
Jeihan di Mata Kurator Seni Rupa Indonesia Jean Couteau
Bagi Jean Couteau, Jeihan merupakan salah satu maestro lukis Indonesia yang berhasil "mendobrak" pakem yang umum lahir di era itu. Ia tidak terjebak pada karya yang memfokuskan diri pada "identitas kelompok", seperti yang dilakukan seniman di masa itu, di era menuju kemerdekaan.
Jeihan dinilai unik, karena mampu menterjemahkan situasi politik saat itu, dengan konsep yang tak biasa.
Sang seniman yang tutup usia pada 2019 lalu itu, tidak "terbawa arus" seperti pelukis lain kala itu yang mengangkat problematika politik, antusias memotret euforia kemerdekaan, sikap antipenjajah, dan karya yang menonjolkan spirit membangun persaudaraan, bahkan karya yang mengajak masyarakat untuk merayakan kebebasan sebagai bangsa merdeka.
"Jeihan tidak memiliki antusiasme yang sama dalam mengekspresikan jiwa kolektif ini. Karena keyakinannya untuk menterjemahkan pemikirannya yang unik, kita jadi bisa mendapatkan satu gambaran yang berbeda tentang seni rupa Indonesia, hari ini," puji Kurator Seni Rupa Indonesia Jean Couteau, dalam pembukaan "Solo Exhibition: Jeihan and The New Indonesian".
Baca juga: Pameran Lukisan Dorong Gerakan Pemberdayaan Perempuan di Daerah
Bagi Jean, karya Jeihan seperti ada di babak yang berbeda, meski lahir di era kemerdekaan. Sang kurator menarik sedikit ke belakang, mengajak pengunjung dan kolektor seni melihat masa kecil sang maestro lukis.
"Jeihan mengalami hidup di zaman perang. Ia bahkan pernah koma saat berusia sekitar 4 tahun akibat kecelakaan hebat yang dialami di rumah salah seorang kerabatnya. Jeihan kecil yang mengalami cedera kepala hebat harus menarik diri dari pergaulan dan bahkan putus sekolah," kisah Jean.