“Karena narasi negatif yang beredar di media sosial, demonstrasi dan penghadangan terjadi. Beberapa pengungsi tertahan di pantai dan ada yang dibawa dari satu daerah ke daerah lain,”
“Pemberitaan di media sosial berdampak langsung bagi lembaga kemanusiaan dan pengungsi, serta kepada warga menjadi terpecah belah karena hoaks,” sesalnya.
Gading pun mengulas mengenai alasan Etnis Rohinghya mengungsi.
Dikatakannya, kelompok etnis muslim dari Myanmar itu tidak bisa pulang karena mengalami persekusi selama puluhan tahun.
Baca juga: Kapten Kapal Jadi Tersangka Kasus Dugaan Penyelundupan 137 Etnis Rohingya ke Aceh
Menurutnya, Etnis Rohingya menjadi populasi tanpa warga negara terbesar di dunia.
Sejak 1977-1978, mereka telah kehilangan kewarganegaraan.
Sementara pada tahun 1979 sempat ada repatriasi dari Bangladesh.
Kemudian pada 1982 ada konstitusi yang membuat mereka tidak memiliki status warga negara Myanmar.
Kerja paksa, pemindahan paksa, rudapaksa, dan berbagai penjajahan etnis membuat Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Namun karena tidak ada kejelasan dan sanitasi yang buruk, maka di Bangladesh-pun ditolak di kamp-kamp pengungsi.
Kondisi kamp sangat buruk dan kondisi mereka semakin rentan karena eksploitasi dan kekerasan.
Bahkan pada 2017 ada kampanye anti Rohingya.
Kemudian pada tahun 2021 karena kondisi Myanmar juga bergejolak termasuk kepada etnis lain, sedangkan di Bangladesh juga tidak layak karena akses pendidikan dan pekerjaan masih seperti penjajahan, maka Indonesia menjadi satu-satunya harapan, ketika mereka ditolak di Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan negara lain.
Baca juga: Ratusan Warga Jaga di Pantai Mantak Tari Aceh, 5 Kapal Membawa Etnis Rohingya Tak Berani Berlabuh
Gading lalu mengungkapkan riwayat kedatangan etnis Rohingya di Aceh.