Implikasi perkawinan anak menjadi sangat kompleks. Paling tidak ada 5 tantangan nyata terhadap kelangsungan generasi bangsa.
Pertama, potensi kegagalan melanjutkan pendidikan.
Kedua, potensi meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian. Studi menyatakan bahwa 24% kasus perceraian terjadi pada perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun.
Ketiga, potensi meningkatnya angka kematian ibu. Komplikasi saat kehamilan dan melahirkan merupakan penyebab kematian terbesar kedua bagi anak perempuan berusia 15-19 tahun, serta rentan mengalami kerusakan organ reproduksi. Karena dampak pernikahan dini dari segi fisik bisa mengakibatkan tekanan darah tinggi, anemia, bayi lahir premature dan BBLR, Ibu meninggal, infeksi bakteri, jamur dan lain-lain.
Selanjutnya yang keempat adalah potensi meningkatnya kematian bayi (AKB). Bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari atau 1,5 kali lebih besar dibanding jika dilahirkan oleh ibu berusia 20-30 tahun. Kelima, potensi kerugian ekonomi.
Perkawinan anak diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya 1,7% dari pendapatan domestik bruto (PDB). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkawinan anak berpotensi merugikan pembangunan sumber daya manusia di masa depan, lanjut Ulfa.
Baca juga: Pernikahan anak di Indonesia mengkhawatirkan, permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama naik 200%
Dalam sesi membuat rencana tindak lanjut, Fajar Novi selaku Koordinator Kabupaten Tim Tehnis P3PD menekankan intervensi strategis untuk mencegah perkawinan anak adalah menggunakan strategi penguatan untuk anak perempuan.
Strategi tersebut mencakup pemberian informasi, peningkatan kemampuan, dan struktur dukungan sehingga memampukan anak perempuan mengadvokasi diri serta membangun status dan kesejahteraan sendiri.
"Jadi fokus kampanye yang efektif adalah “Stop Nikah Dini”, tambah Novi Fajar.