TRIBUNNEWS.COM, SUMENEP - Sejumlah aktivis mengatasnamakan Gerakan Regenerasi Aktivis 98 (Gerak 98) menggelar Bedah buku berjudul ‘Buku Hitam Prabowo Subianto’ di Gedung Juang, Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, pada Kamis (18/01/2024).
Buku karya Azwar Furgudyama dibedah oleh 3 pembedah dari kalangan aktivis Sumenep.
Diantaranya Mahsun Al Fuadi (Aktivis Bemmus Jatim) dan Fendi Al Faris (Aktivis Pemuda), dan Ahmad Firdaus (Aktivis Mahasiswa).
Baca juga: Relawan Prabowo Salurkan Bantuan 50 Ton Pupuk Murah di Dua Kecamatan Kabupaten Madiun
Dalam bedah buku tersebut, salah satu pembedah, Mahsun mengatakan buku tersebut sebagai sarana pengetahuan agar mahasiswa zaman ini belajar tentang sejarah perjuangan aktivis era 1998.
Ia menyebut buku tersebut juga menjadi ikhtiar kalangan muda dan aktivis untuk memperjuangkan dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah diinjak-injak di masa orde baru (orba) dan melibatkan militerisme.
“Terdapat fakta dari Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dalam buku yaitu pemberhentian Prabowo Subianto atas 12 kasus pelanggaran HAM berat, salah satunya penculikan aktivis,” ungkapnya.
Baca juga: Prabowo Dinilai Lebih Sulit Lawan Anies di Putaran Kedua Pilpres, ketimbang Lawan Ganjar
Ia menjelaskan dalam buku tersebut nama Prabowo Subianto menjadi yang paling terang mulai judul hingga isi namun tanggung jawab atas kasus tersebut ialah semua unsur negara dan tidak ada hubungannya dengan Pemilu 2024.
“Bedah buku ini tidak ada hubungannya dengan pemilu tahun ini, namun yang jelas dalam buku itu dijelaskan bahwa keterlibatan Pak Prabowo cukup besar perannya terkait kasus Pelanggaran HAM di masa itu,” jelasnya.
Sementara itu, pembedah terakhir Mohammad Efendi Alfariz memaparkan fakta sejarah kelam yang dijelaskan dalam buku tersebut bertolak belakang kebhinnekaan di Indonesia.
“Indonesia merupakan salah satu negara dengan keberagaman suku bangsa dan budaya yang besar di dunia. Setidaknya ada 300 kelompok etnis dan 1.340 suku di Tanah Air, perlu kiranya menjaga keharmonisan dan kerukunan dengan menghargai pendapat dan kritikan masyarakat terhadap pemerintahan,” paparnya.
Untuk itu, lanjutnya, aktivis harus memperkuat literasi, serta mencari data dan informasi sebelum mengambil tindakan selanjutnya.
Karena, sambungnya, pengetahuan tentang sejarah selalu bias dan berubah bersamaan dengan pergantian rezim.
Baca juga: Petrus Kritik Pemerintah yang Tak Mampu Selesaikan Kasus Penculikan Aktivis pada 1997-1998
“Sejarah selalu ditulis oleh pemenang atau yang berkuasa namun bagi aktivis pemenang sejarah adalah ia yang memperjuangkan,” pungkasnya.
Untuk diketahui, kegiatan ini dihadiri oleh puluhan mahasiswa se Sumenep, organisasi kepemudaan, BEM Kampus se Sumenep dan sejumlah simpul gerakan mahasiswa.