TRIBUNNEWS.COM - Anggota Polda Nusa Tenggara Timur (NTT), Ipda Rudy Soik, dipecat setelah membongkar mafia bahan bakar minyak (BBM) di Kota Kupang.
Rudy Soik dinilai telah melanggar kode etik profesi Polri berupa ketidakprofesionalan dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan BBM.
Adapun alasan pemecatannya karena memasang garis polisi di tempat penampungan BBM ilegal di Kota Kupang.
Rudy Soik pun mengaku terkejut dengan keputusan tersebut.
Padahal, menurutnya, penyelidikan itu dilakukan atas perintah pimpinannya yakni Kapolres Kupang Kota, Kombes Pol Aldinan Manurung.
Ia pun menilai pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dirinya ini sebagai hal yang menjijikkan.
"Bagi saya keputusan PTDH ini sesuatu yang menjijikkan," kata Rudy kepada sejumlah wartawan di kediamannya, Jumat (11/10/2024) malam, dilansir Kompas.com.
Bahkan, Rudy Soik mengaku selalu ditekan ketika menghadiri persidangan.
Dia juga tak diberi kesempatan untuk menjelaskan rangkaian penyelidikan kasus mafia BBM yang berujung pemasangan garis polisi.
Sementara itu, sidang kode etik dengan agenda pembacaan tuntutan dan putusan terhadap Rudy Soik digelar pada Jumat pagi.
Namun, Rudy Soik tak menghadiri sidang tersebut.
Baca juga: Ipda Rudy Soik Anggota Polda NTT yang Berjuang Ungkap Mafia BBM Dipecat, JarNas Anti TPPO Mengecam
"Kenapa saya tidak hadir? Karena sidang dari hari pertama itu saya sudah sampaikan ke komisi sidang agar saya tidak ditekan dan diintimidasi secara kewenangan."
"Namun, saya benar-benar ditekan saat memberikan keterangan saat itu," ungkapnya.
Rudy Soik mencontohkan, pemasangan garis polisi itu ada rangkaian cerita.
Mulai dari awal hingga terjadinya pemasangan garis polisi di rumah terduga pelaku mafia BBM, Ahmad Ansar, Kamis (27/6/2024).
Akan tetapi, pimpinan sidang kode etik hanya fokus di tanggal 27 Juni 2024, saat Rudy Soik memasang garis polisi.
Rudy Soik pun menyebut, ia tak diberi kesempatan untuk menjelaskan alasannya memasang garis polisi.
"Mengapa saya memasang police line di tanggal 27? Itu harus dijelaskan dan pimpinan sidang harusnya meminta saya untuk menjelaskan rangkaiannya."
"Tapi saya tidak diberi ruang untuk menjelaskan alasan pemasangan police line," terangnya.
Rudy lantas menuturkan, pada 27 Juni 2024, dia menanyakan kepada pemilik rumah tempat dipasangnya garis polisi, meski saat itu tidak ada BBM dalam drum.
"Jadi saya bertanya, apakah Krimsus (Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda NTT) yang pada tanggal 27 itu saya pergi kamu menjelaskan kepada saya bahwa minyak (BBM) Krimsus itu ilegal."
"Dia (pemilik rumah tempat dipasang garis polisi) mengakui itu dalam sidang," tuturnya.
Rudy Soik kemudian melontarkan sejumlah pertanyaan kepada pemilik rumah tersebut.
Termasuk pertanyaan terkait pemberian uang senilai belasan juta kepada anggota polisi sebelum Rudy Soik datang.
"Saya bertanya lagi, apakah kamu memberikan uang Rp15 juta kepada anggota sebelum saya datang, dan dia mengakui itu. Saya pun menjelaskan di sidang, tapi saya di-cut. Katanya kamu jangan melebar kemana-mana," tandasnya.
Baca juga: Viral Calon Taruna Akpol Mayoritas Anak Pejabat Kepolisian, Polda NTT: Anak Siapapun Berhak Daftar
Rudy Soik pun menyayangkan proses sidang kode etik yang dijalaninya tidak mencari fakta-fakta tentang mafia BBM.
Namun, seolah-olah terkesan Rudy Soik telah melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP).
Saat bertanya terkait SOP yang dilanggar, Rudy Soik justru dianggap berbelit-belit.
"Saya kan tanya, kalau seandainya saya salah dalam pemasangan police line, maka yang benar itu di mana."
"Perlihatkan kepada saya dalam aturan yang mana, supaya jelas semuanya," ujarnya.
Rudy Soik juga mengaku mengantongi surat tugas saat mendatangi rumah dua orang terduga mafia BBM tersebut.
Dia juga melaporkan rangkaian penyelidikan atas dugaan pidana itu ke atasannya Kapolresta dan Kasat Reskrim.
"Kalau saya mau jujur, jika bicara soal etika, banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum anggota Polri itu lebih buruk dari yang tertuduh kepada saya."
"Masa ini saya pasang police line terkait mafia BBM di Kota Kupang tapi kok saya bisa disidang PTDH."
"Tapi tidak apa-apa, sebagai warga negara yang taat hukum kita mengikuti prosesnya," urainya.
Karena keputusan pemecatan ini bersifat final, maka Rudy Soik akan menempuh upaya hukum lainnya yakni banding.
Sementara itu, Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol Ariasandy membenarkan terkait sanksi PTDH terhadap Ipda Rudy Soik.
Ariasandy menuturkan, Sidang Komisi Kode Etik Polri terhadap Rudy Soik digelar di Ruang Direktorat Tahti Lantai II Polda NTT, Jumat.
Ketika dikonfirmasi Pos-Kupang.com, Ariasandy mengungkapkan, sidang berlangsung selama tujuh jam, dimulai pukul 10.00 WITA.
Ariasandy menjelaskan, Rudy Soik melakukan pelanggaran Kode Etik Profesional Polri berupa ketidakprofesionalan dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan BBM dengan cara melakukan pemasangan police line di lokasi milik Ahmad Anshar dan Al Ghazali Munandar.
Adapun pasal yang dilanggar, Pasal 13 Ayat 1, Pasal 14 (1) huruf B Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian Anggota Polri juncto Pasal 5 Ayat (1) huruf b,c Pasal 10 Ayat (1) huruf A Angka (1) dan huruf D Perpol 7 Tahun 2002 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.
"Sidang dilanjutkan pada Jumat tanggal 11 Oktober 2024 pukul 08.00 WITA dengan agenda pembacaan tuntutan, pembelaan (pledoi)."
"Berdasarkan putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri Nomor: PUT/38/X/2024 tanggal 11 Oktober 2024, menjatuhkan sanksi administrasi berupa PTDH dari dinas Polri," jelas Ariasandy.
Sebagian artikel ini telah tayang di Pos-Kupang.com dengan judul BREAKING NEWS: Polda NTT Pecat Ipda Rudy Soik
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana, Pos-Kupang.com/Rosalia Andrela, Kompas.com/Sigiranus Marutho Bere)