TRIBUNNEWS.COM -- Selain fisik, Covid-19 juga menyerang para penderitanya secara psikologis.
Selama pandemi sebagian besar masyarakat tinggal dan beraktivitas di dalam rumah termasuk bersekolah.
Ternyata hal ini menyebabkan stres bagi bagi kebanyakan orang karena kurangnya interaksi sosial.
Melansir National Geographic, Rabu (29/12/2021) pada puncak Covid-19 yang melanda New York City pada awal tahun 2020, seorang dokter di UGD dr Lorna Breen ditemukan meninggal dunia karena bunuh diri.
Diketahui bahwa Breen tidak memiliki riwayat penyakit mental, tetapi semuanya berubah setelah dia tertular virus corona.
Pihak keluarganya pun khawatir akan sikap Breen yang kerap kebingungan, selalu ragu-ragu, mudah lelah, dan hampir mengalami katatonik yang terjadi pada beberapa pasien dengan skizofrenia.
Akhirnya, dokter berusia 49 tahun itu dibawa ke bangsal psikiatri di University of Virginia Medical Center.
Namun, setelah diizinkan untuk pulang, Breen memutuskan untuk bunuh diri.
“Dia menderita Covid, dan saya yakin itu mengubah otaknya,” kata saudara perempuannya, Jennifer Feist.
Pada saat itu, para dokter baru mengetahui bahwa virus corona tidak hanya menargetkan paru-paru dan jantung tapi berdampak pada organ lain, termasuk otak.
“Banyak orang datang ke rumah sakit dengan depresi berat, halusinasi, atau paranoia, lalu (ketika dites) mereka didiagnosis Covid,” kata ahli saraf dan psikiater di Pusat Medis Irving Universitas Columbia di Manhattan, Maura Boldrini.
Memasuki tahun kedua pandemi, para ahli menilai bahwa dampak pada neurologis akibat Covid-19 dapat bertahan lama atau semakin parah seiring berjalannya waktu.
Mereka mengatakan, setelah pulih dari virus, sejumlah pasien yang mengkhawatirkan dampak seperti kabut otak atau brain fog, menderita gangguan kecemasan atau depresi, tidak dapat berpikir, gangguan memori, dan sulit untuk berbicara dengan lancar.
Gangguan neurologis ini dikenal sebagai Long Covid yang mencakup setidaknya 203 gejala dalam 10 sistem organ di tubuh.
Sementara itu, Boldrini mencatat beberapa gejala Long Covid mirip dengan gejala akibat infeksi virus lainnya, cedera otak traumatis, dan penyakit neurodegeneratif seperti Parkinson, Alzheimer, maupun Huntington.
Menurutnya, kondisi ini bisa mengubah cara seseorang beranggapan tentang diri mereka sendiri atau cara berinteraksi dengan orang lain.
Namun, para ahli masih mendalami terkait fenomena yang disebabkan Covid-19 tersebut, dan meyakini bahwa badai sitokin memicu respons imun yang tidak terkendali sehingga merusak atau menghancurkan sel-sel otak secara permanen.
Dikatakan Boldrini, hal tersebut mungkin menyebabkan seseorang menjadi pribadi yang berbeda.
Keterkaitan antara perubahan kepribadian dengan infeksi Covid-19
“Otak jelas sangat penting dalam menentukan siapa kita. Ini ego kita, itu semua tentang identitas kita,” ujar Ann McKee, ahli saraf di Chronic Traumatic Encephalopathy (CTE) di Boston University.
Sementara, kepribadian cenderung konstan selama memasuki usia dewasa.
Hanya saja, fungsi otak yang terganggu dapat menyebabkan perubahan kepribadian yang ekstrem, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya orang yang mengalami hal tersebut setelah terinfeksi Covid-19.
Baca juga: Karakter Varian Omicron Berbeda dari Varian Lain, Jadi Harapan Pandemi Covid-19 Cepat Jadi Endemi
Misalnya Ivan Agerton, mantan fotografer yang mengalami psikosis pada awal tahun 2021 setelah sembuh dari Covid-19.
Dia menjadi paranoid, ketakutan orang-orang mengikutinya dan yakin bahwa perwira SWAT berkemah di luar rumahnya.
Bagi beberapa pasien Covid-19, psikosis sembuh seiring waktu, meski tidak ada yang tahu berapa lama gejala tersebut dapat bertahan.
Sebuah penelitian terhadap 395 pasien Covid-19 di rumah sakit menemukan, sebanyak 91 persen pasien memiliki masalah kognitif, kelelahan, depresi, kecemasan, dan masalah tidur.
Para ahli kesehatan pun tengah mencari cara untuk mengobati gejala jangka panjang ini dengan mendalami penyebabnya.
Baca juga: Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin Dinyatakan Positif Covid-19
Boldrini dan timnya telah meneliti hewan yang mati karena terinfeksi virus corona, untuk memeriksa sampel otak yang diberi dengan pewarna cerah untuk mengarakterisasi berbagai jenis sel.
Mereka mengamati perubahan pada hippocampus, wilayah otak yang berada di lobus temporal dan berfungsi dalam fungsi memori dan kognitif, kemudian menghitung sekitar sepersepuluh jumlah neuron baru yang biasanya ada di hippocampus.
“Kabut otak sangat masuk akal bagi saya ketika melihat hilangnya neuron ini dari Covid,” kata Boldrini.
Tim peneliti juga menemukan kerusakan pada medula yang mengontrol pernapasan dan gerakan. Boldrini berkata, bahwa mereka akan terus memeriksa daerah otak lain jika ada kemungkinan kerusakan.
Baca juga: KSP Pastikan Pemerintah Siap Hadapi Lonjakan Kasus Covid-19 Varian Omicron
Peneliti dari Inggris baru-baru ini juga menemukan bukti penurunan fungsi kognitif pada pasien yang terinfeksi virus corona di rumah sakit.
“Kami menemukan bukti bahwa sel-sel tertentu di dalam otak mampu terinfeksi SARS-CoV-2, di mana virus dapat mereplikasi dan menginfeksi jenis sel lain,” papar ahli saraf di University of California, Joseph G Gleeson.
Kendati demikian, Boldrini menuturkan masih banyak pertanyaan yang harus dijawab termasuk bagaimana mencegah virus menyebabkan kerusakan fungsi kognitif. (Zintan Prihatini)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bagaimana Infeksi Covid-19 Bisa Mengubah Kepribadian? Ini Penjelasan Ahli"