Menurut Tonny, banyak sekali pelaku pariwisata atau penyedia jasa kapal pinisi di Kepulauan Raja Ampat yang tidak memiliki pengetahuan ekologi yang cukup untuk mengetahui potensi jangkar yang mereka gunakan sangat berpeluang merusak terumbu karang dan kelestarian keanekaragam hayati yang ada.
Untuk itu hal ini menjadi ancaman, sekaligus tantangan tersediri mengenai bagaimana memberikan edukasi pada para pelaku wisata dan penyedia layanan wisata untuk tetap menikmati keindangan alam tanpa merusaknya.
4. Bom atau zat kimia untuk tangkap ikan Kendati sudah banyak kelompok masyarakat yang mulai sadar akan pentingnya menjaga kelestarian alam bawah laut, terutama terumbu karang, masih ada saja oknum-oknum yang tetap mengambil ikan dengan cara merusak terumbu karangnya.
Oknum-oknum tersebut biasanya hanya tergiur dengan pendapatan ikan yang banyak dalam sekali bernelayan.
Oknum-oknum ini umumnya akan menangkap ikan dengan menggunakan alat peledak, bom maupun zat kimia berbahaya seperti potassium.
Disampaikan Tonny, aktivitas penangkapan ikan dengan bahan peledak ini masih terjadi meskipun sudah dibentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) melalui program Coremap CTI (Coral Reef Rehabilitation and Management Program- Coral Triangle Initiative/ Porgam Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang - Inisiatif Segitiga Terumbu Karang) oleh Bappenas dan ICCTF.
“Tapi, biasanya mereka (oknum penangkap ikan dengan bahan peledak) itu bukan orang asli di daerahnya, itu biasanya orang luar, orang datangan saja,” kata Tonny.
Hal ini diketahui dari cerita Pokmaswas di sejumlah tempat saat berpatroli menjaga keberlanjutan sumber daya dalam kawasan konservasi.
Ketika mereka menemukan oknum pelaku penangkapan ikan dengan cara peledakan, Pokmaswas akan mencari tahu mereka siapa dan melaporkan kepada petugas KKP setempat.
Sebagian besar oknum pelaku perusakan terumbu karang ini adalah masyarakat dari luar Kepulauan Raja Ampat, salah satunya dari Makassar.
5. Perubahan iklim Perubahan iklim merupakan salah satu ancaman terbesar juga dalam hilangnya The Amazon of Ocean di Kepulauan Raja Ampat, Indonesia ini.
Dijelaskan Tonny, tekanan dari pemanasan global pada air laut, dapat memicu zat asam yang dapat mengikis karang.
Sebab, terumbu karang pada dasarnya rumah atau pembentuknya adalah kapur, sehingga ketika zat asam terlalu tinggi, kapur ini juga ikut terkikis, terjadi pemutihan dan karang mati.
“Kalau panas iklim terjadi, maka kemungkinan paling besara karang bisa mati, karena terjadi pengasaman laut,” ujarnya.
Namun, Tonny meyakinkan bahwa kita masih bisa berjuang untuk mempertahankan dan menjaga keberlangsungan terumbu karang di Kepulauan Raja Ampat ini.
Hal ini dikarenakan, ada jenis karang yang disebutkan dalam beberapa penelitian lebih tahan terhadap perubahan iklim.
“Uniknya lagi, jenis karang yang tahan iklim itu ada di Raja Ampat,” ucap dia. (Ellyvon Pranita/Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Segitiga Terumbu Karang di Kepulauan Raja Ampat, Amazon of Ocean Terancam Hilang"