"Berbeda dengan gelombang panas. Hanya panas terik harian saja, misalnya seperti saat ini, panas terik, tidak ada tutupan awan, maka (sinar) optimum, sehingga kelihatannya menyengat sekali," paparnya.
Benarkah Equinox Picu Suhu Panas?
Guswanto melanjutkan, peningkatan atau penurunan suhu harus diukur menggunakan termometer dan tidak boleh berdasarkan rasa atau feel-like.
Feel-like temperature adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sensasi suhu yang dirasakan manusia, seperti lebih panas atau gerah.
Nihilnya tutupan awan menyebabkan cuaca lebih terasa terik lantaran kehadirannya dapat membuat suasana lebih adem.
Selain minim tutupan awan, rasa gerah yang dirasakan orang pun dapat terjadi karena beberapa kondisi.
Misalnya, orang yang kurang sehat mungkin akan merasa suhu di sekitar lebih panas daripada orang dalam kondisi sehat.
Guswanto menegaskan, equinox tidak mengakibatkan peningkatan suhu udara secara permanen dan signifikan.
"Kalau ukuran suhu meningkat itu harus ada ukurannya, tidak boleh dari feeling. Dari pengukuran BMKG tidak ada yang berbeda terlalu jauh," ujarnya.
Oleh karena itu, Guswanto mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dalam menghadapi fenomena equinox.
Puncak Kemarau
Sebelumnya, BMKG memberikan penjelasan mengenai keluhan warganet soal suhu panas di beberapa wilayah Indonesia.
Diketahui, sejumlah warganet di akun media sosial X (dulu Twitter) mengeluhkan suhu panas yang terjadi di beberapa kota di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Terkait hal tersebut, Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Ardhasena Sopaheluwakan, pun membeberkan alasannya.
Menurut Ardhasena, suhu panas yang melanda sejumlah wilayah, khususnya Pulau Jawa, karena mulai memasuki puncak kemarau 2024.