Mengutip dokumen Harian Kompas pada 2 Februari 2008 dari Kompas.com, dalam pleidoinya, Indra mengaku tidak tahu apakah surat BIN yang diterimanya pada Juni atau Juli 2004 itu bagian dari rencana pembunuhan atau bukan.
Dia hanya memahami bahwa surat tersebut merupakan surat resmi dari lembaga negara yang salah satunya bertugas mencegah ancaman teror.
Meski BIN mendapat sorotan dalam kasus pembunuhan Munir, belum ada pejabat dari lembaga tersebut yang dijerat kasus hukum.
Mantan Deputi V BIN Muchdi Prawiro Pranjono pernah menjadi terdakwa dan diadili.
Baca: 4 Film Indonesia Tentang HAM, Cocok Ditonton untuk Peringati Hari HAM Sedunia
Namun, hakim kemudian membebaskan Muchdi karena dianggap tak terbukti terlibat menempatkan Pollycarpus dalam penerbangan itu.
Kasus pembunuhan Munir ini telah diangkat dalam beberapa karya sastra seperti cerita pendek (cerpen) dan lagu.
Karya-karya itu berusaha menyarakan bahwa meski Munir telah mati, penegakan dan gagasan tentang HAM akan terus hidup.
Cerpen yang mengisahkan kasus pembunuhan Munir ditulis oleh Agus Noor berjudul "Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati".
Cerpen ini dipublikasikan di harian Kompas, 11 Januari 2011 dan dinobatkan sebagai cerpen terbaik.
Cerpen itu mengambil sudut pandang dari pelaku yang dijatuhi hukuman penjara sebagai pelaku pembunuhan Munir.
Dalam cerpen itu mengisahkan pelaku yang telah bebas dari hukumannya.
Cerpen itu menyuratkan bahwa si pelaku yang dijatuhi hukuman penjara itu sebenarnya tidak bersalah.
Si pelaku memang yang memberi racun arsenik pada minuman Munir, tetapi ia bukanlah orang yang menginginkan kematian Munir, ia hanyalah orang suruhan.
Dalam cerpen itu, dikisahkan bahwa ia diutus untuk menghabisi 'seorang pembangkang yang dianggap berbahaya bagi negara'.
Baca: Peringati Hari HAM Sedunia, Mahfud MD Soroti Perlindungan HAM di Jepang