Ditambahkan, data saat ini menunjukkan bahwa erupsi masih berpotensi terjadi.
"Namun dengan eksplosivitas yang masih rendah," terang Devy.
Baca: Peringatan Dini BMKG Bali: Pasca Erupsi Gunung Agung (19/1/2019), Bali Berpotensi Hujan Sedang-Lebat
Menurut Devy, erupsi terjadi karena overpressure atau kelebihan tekanan di dalam perut gunung.
Tekanan ini bisa bersumber dari material magma yang naik secara masif maupun berupa gas-gas magmatik yang naik sedikit-sedikit untuk kemudian terakumulasi di kedalaman tertentu.
"Pada kondisi di mana lapisan penutup atau atasnya gunung tidak mampu menahan tekanan ini, maka erupsi terjadi," ungkap Devy.
Hujan adalah salah satu faktor eksternal yang bisa mempengaruhi aktivitas gunungapi.
Baca: Gunung Agung Erupsi Lontarkan Lava Pijar Sejauh 1 Kilometer
Air hujan jika masuk ke dalam sistem vulkanik dan berinteraksi dengan uap magma yang panas, bisa juga memicu terjadinya hembusan bahkan letusan.
Namun demikian, perlu diingat bahwa bukan hujan yang menyebabkan erupsinya, tapi memang karena ada kelebihan tekanan di dalam tubuh gunungnya sehingga terjadi erupsi.
Adapun hujan hanya menjadi faktor trigger dari luar, hanya jika gunungapinya sedang kelebihan tekanan.
"Tidak semua gunungapi langsung reaktif meletus karena hujan," ucap Devy.
Baca: Gunung Agung Kembali Erupsi, Tinggi Kolom Abu Tak Teramati karena Tertutup Kabut
"Sekarang kan musim hujan, kalau memang hanya hujan yang menyebabkan erupsi, kenapa hanya Gunung Agung yang erupsi sementara gunungapi lainnya tidak," ujar Devy.
Menurut Devy, PVMBG tidak bisa memprediksi hal tersebut. Tergantung gunungnya sendiri.
"Kita nggak bisa memprediksi persis kelakuan suatu gunungapi ke depan, kita hanya bisa mengikuti aktivitasnya dan melakukan respon yang sesuai dengan data-data yang ditunjukannya," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Whiesa)