TRIBUNNEWS.COM - Gunung Agung yang terletak di Karangasem, Bali kembali meletus pada Selasa (22/1/2019) dini hari tadi.
Gunung Agung meletus pada pukul 03.42 WITA dengan durasi 2 menit.
Dari pos pengamatan Gunung Api Agung menyebutkan, tinggi kolom abu mencapai 2 kilometer di atas puncak kawah Gunung Agung.
Terlihat asap berwarna kelabu dengan intesitas tebal condong ke arah barat.
Baca: Penjelasan PVMBG terkait Kembali Meningkatnya Altivitas Gunung Agung
Dikutip dari Kompas.com, selain asap tebal dari puncak kawah, juga terlihat kilatan cahaya menyertai erupsi.
Sejak erupsi dari tengah malam hingga pagi hari, Gunung Agung terus diguncang gempa baik, gempa embusan, vulkanik dangkal maupun tektonik lokal.
Status Gunung Agung sendiri masih berada pada level III (siaga).
Zona bahaya berada pada radius 4 kilometer dari puncak kawah.
Baca: Gunung Agung Alami Dua Kali Erupsi Sore Ini
Warga, wisatawan maupun pendaki diimbau tidak beraktivitas dalam zona tersebut.
Selain itu, ancaman sekunder juga mengintai berupa aliran lahar hujan yang dapat terjadi, terutama pada musim hujan dan material erupsi masih terpapar di area puncak.
Dikutip Tribunnews.com dari Tribun Bali, Kepala Sub Bidang Mitigasi Pengamatan Gunung Api Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana, membenarkan terjadinya erupsi di Gunung Agung yang saat ini berstatus Siaga (Level III) ini.
"Secara visual belum teramati kolom abu atau pijar. Kami saat ini menyimpulkan erupsi berdasarkan data seismik," ujar Devy saat dikonfirmasi, kemarin.
Baca: Letusan Gunung Agung Sabtu Dini Hari Memuntahkan Lava Pijar Sejauh 1 Kilometer
Menurutnya juga, tidak ada peningkatan signifikan kegempaan vulkanik.
"Saat ini, tidak perlu peningkatan kegempaan signifikan bisa terjadi erupsi karena sistem sudah terbuka. Oleh karena itu, erupsi bisa kapan saja terjadi," terang Devy.
Ditambahkan, data saat ini menunjukkan bahwa erupsi masih berpotensi terjadi.
"Namun dengan eksplosivitas yang masih rendah," terang Devy.
Baca: Peringatan Dini BMKG Bali: Pasca Erupsi Gunung Agung (19/1/2019), Bali Berpotensi Hujan Sedang-Lebat
Menurut Devy, erupsi terjadi karena overpressure atau kelebihan tekanan di dalam perut gunung.
Tekanan ini bisa bersumber dari material magma yang naik secara masif maupun berupa gas-gas magmatik yang naik sedikit-sedikit untuk kemudian terakumulasi di kedalaman tertentu.
"Pada kondisi di mana lapisan penutup atau atasnya gunung tidak mampu menahan tekanan ini, maka erupsi terjadi," ungkap Devy.
Hujan adalah salah satu faktor eksternal yang bisa mempengaruhi aktivitas gunungapi.
Baca: Gunung Agung Erupsi Lontarkan Lava Pijar Sejauh 1 Kilometer
Air hujan jika masuk ke dalam sistem vulkanik dan berinteraksi dengan uap magma yang panas, bisa juga memicu terjadinya hembusan bahkan letusan.
Namun demikian, perlu diingat bahwa bukan hujan yang menyebabkan erupsinya, tapi memang karena ada kelebihan tekanan di dalam tubuh gunungnya sehingga terjadi erupsi.
Adapun hujan hanya menjadi faktor trigger dari luar, hanya jika gunungapinya sedang kelebihan tekanan.
"Tidak semua gunungapi langsung reaktif meletus karena hujan," ucap Devy.
Baca: Gunung Agung Kembali Erupsi, Tinggi Kolom Abu Tak Teramati karena Tertutup Kabut
"Sekarang kan musim hujan, kalau memang hanya hujan yang menyebabkan erupsi, kenapa hanya Gunung Agung yang erupsi sementara gunungapi lainnya tidak," ujar Devy.
Menurut Devy, PVMBG tidak bisa memprediksi hal tersebut. Tergantung gunungnya sendiri.
"Kita nggak bisa memprediksi persis kelakuan suatu gunungapi ke depan, kita hanya bisa mengikuti aktivitasnya dan melakukan respon yang sesuai dengan data-data yang ditunjukannya," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Whiesa)