Padahal rumah mereka banyak yang rata dengan tanah.
"Jadi ada yang bilang kenapa cuma dibawa di sini saja bukan ke Lombong," kata Ramli.
Senada dengan Ramli, Nurul Zaskia (22), warga Desa Mekkatta juga masih mengaku kesulitan mendapatkan air bersih.
Selain itu peralatan dan perlengkapan untuk bayi seperti susu dan popok juga sangat kurang.
Padahal, Zaskia punya 8 keluarga yang masih balita ikut mengungsi. Jarak rumah Zaskia dengan lokasi posko induk pengungsian cukup jauh.
"Perlengkapan bayi seperti popok, susu sangat kurang. Padahal ada anak bayi yang baru berusia 20 hari tinggal di dalam (lokasi pengungsian)," ujar Zaskia.
Sementara itu Abdul Khair (31), warga Desa Tubo Tengah, Kecamatan Sendana harus pergi ke posko induk di Kecamatan Malunda untuk mendapatkan susu untuk anaknya.
Khair mengaku, masih banyak lokasi pengungsian di Desa Tubo Tengah yang belum terjamah.
Beruntung dia memiliki kerabat yang mengungsi di posko induk di Kecamatan Malunda.
Keluarganya itulah yang langsung mengambil susu untuk anaknya begitu bantuan tiba.
Khair lalu dihubungi keluarganya itu untuk mengambil susu anaknya yang baru berusia 6 bulan.
"Tidak ada susu. Masih kurang bantuan. Kalau air minum sudah dapat. Kalau untuk mandi cukup air sumur," kata Khair yang mendirikan tenda di halaman rumahnya.
Dari pantauan Kompas.com, posko induk yang berada di halaman sekolah SMK Kota Tinggi juga terendam lumpur.
Hujan yang sering turun membuat sebagian tanah yang ditempati warga menjadi lembek.
Dari data BPBD Majene, ada sekitar 17 ribu warga yang mengungsi akibat gempa besar yang mulai terjadi pada Kamis (14/1/2021) lalu.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Jeritan Pengungsi Majene: Bantuan Hanya di Tenda Besar, Air Bersih dan Susu Bayi Kurang