News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

VIDEO Guido Ungkap Cerita Mistis Saat Syuting Video Klip 'Ro Jo Hamu'

Editor: Srihandriatmo Malau
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

"Semacam ada ucapan, ‘tenang kau. Adanya rezekimu."

"Soal masa depan, atau perut, tidak usah kau takutkan. "

"Apakah ini terkait dengan dengan Ompu Mamantang Laut, aku nggak tahu. Tapi memang, banyak orang yang bilang, aku punya khodam (roh penjaga)," ucapnya.

Dikisahkan Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Mangitua Ambarita, ratusan tahun lalu, Martua Boniraja Ambarita meninggalkan kampungnya di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

Ia trauma melihat Johana Naera br Ambarita, adiknya, dikubur hidup-hidup orang ibu kandung korban. Sang ibu menyuruh Naera menjaga padi menguning di ladang. Namun ia kelaparan  dan tertidur. 

Ibunya marah lalu memaksa putri menggali lubang, yang menjadi liang kubur Naera. Seluruh badan terkubur, sisa leher dan kepala di perkuaan tanah, hanya . Sebelum wafat, Naera dijumpai seakrat oleh Martua Boniraja. Ia menanyakan apa musabab kekejian terhadap adik perempuannya. Singkat cerita, sebelum menyampaikan permintana terakhir, nasi kuning dan telur ayam kampung masak, Naera meminta abangnya pergi jauh, sebab terancam akan dibunuh juga.  

Lalu pergilah  Martua Boniraja bertapak ke Pusik Buhit. Tujuh hari berlalu, dari sana kemudian menyeberangi Danau Toba menuju Dolok Mauli,  dekat Sipolha. Setelah bertemu tak sengaja dan kenalan dengan Tuan Sipolha marga Manik/Damanik, ia kemudian ‘mamukka huta’/mendirikan perkampungan di Sihaporas. 

Martua Boni Raja menikahi gadis Boru Sinaga dari Buttu Pasir, Panahatan, tepi Danau Toba arah Parapat. Lama berumah tangga, tidak mendapat keturunan.  Pasangan suami istri sepakat agar punya keturunan. Martua Boniraja pun menikahi gadis Boru Sitio dari Kecamatan Simanindo di Pulau Samosir. 

Mereka dikarunia 3 anak. Sejak lahir sampai tumbuh kembang, istri pertama hidup rukun dan turun merawat anak-anak istri kedua. Tiga anak mereka dinamai Ompu Sohailoan Ambarita (sulung), Ompu Jaipul Ambarita (penengah) dan Ompu Sogara (bungsu), yang kemudian merantau ke Motung, Kabupaten Toba. 

Bagi orang batak yang sudah punya keturunan, pantang atau tabu memanggil nama kecil. Belakangan Martua Boniraja memiliki nama sapaan  Ompu Mamontang Laut (Ompu si penyeberang danau/laut). Ia berinteraksi dengan Tuan Sipolha marga MAnik/Damanik), Raja Siantar marga Manik/Damanik dan Tuan Tanah Jawa (marga Sinaga). Mereka berempat berjumpa membahas batas-batah wilayah. Dalam satu kesempatan, mereka bersumpah di lokasi yang disebut Batu Sidua-dua, titik perbatasan tuan Tanah Jawa dengan Tuan Sihaporas. 

Marga dua istri Ompu Mamontang Laut itu sama dengan kru yang dibawa Guido, yakni marga Sinaga dan marga Saragih. Boru Sitio masuk kelompok marga parna, atau saragih.      

Baca juga: Tetua Adat Sihaporas Anak Pejuang Kemerdekaan Cari Keadilan di Jakarta: Apakah di Pusat Masih Ada?

Sejarah dan Makna Lagu

Guido menceritakan kisah seorang temannya, bukan sesama kru Band Punxgoaran.

Ia cerita bahwa pohon pembatas di lokasi tanah adat Sihaporas  ditebang supaya pihak TPL tidak menyerang masyarakat  Sihaporas.

“Jadi, aku semakin penasaran, ini tempat apa gitu. Aku tidak pernah tahu problematika yang dihadapi Sihaporas, dengan TPL. Aku tidak pernah tahu gitu."

"Aku hanya cuma datang ke situ melihat, dan mendengar bahwa ada yang ditangkap (polisi) pada malam hari, (22 JUli 2024 pukul 03.00 WIB)," jelasnya.

"Aku ga pernah mendengar hal begini. Dan aku bertanya kenapa bisa ada komunitas Batak yang menderita gitu? Karena setahu aku komunitas Batak selalu berpegangan ya, kalau ada yang susah paling satu atau dua tiga keluarga.”

Ini lain halnya, satu komunitas Sihaporas itu merasa ketakukan dan tertindas. Itulah alasannya, Guido berpikir apa yang bisa dia bantu?  

"Karena aku nggak bisa melawan PT TPL, karena itu merupakan perusahaan raksasa. Jadi aku menciptakan sebuah karya yang bagaimana seluruh masyarakat bangso Batak bisa melihat keadaannya di situ."

"Karena jika kita semua sama-sama melihat, Bangso Batak melihat, pasti kita semua bisa mengambil sebuah kesimpulan. Semakin kita angkat semua cerita, mungkin bisa diputarbalikkan faktanya."

"Lain halnya , kalau kita datang dan melihat masyarakat Sihaporas, dan menyaksikan sendiri, pasti kita dapat memberikan solusi terbaik,” ujar Guido.

Penyanyi Batak alirah punk, Guido Virdaus Hutagalung menulis lirik lagu Ro Jo Hamu pada selembar karton saay rekaman video klip di kawasan tanah adat Sihaporas, Kecamatan Pematangsidamanik, Kabupaten Simalaungun, Sumatera Utara, 27 Agustus 2024. ((Foto Dokumentasi Lamtoras/Putri Ambarita))

Kenapa Syuting Video Klip di Sihaporas?

“Kenapa memilih syuting video klip Ro Jo Hamu di Sihaporas?” tanya wartawan.

“Karena di situ adalah baraknya mereka. Tempat mereka bercerita, dan biar sesuai dengan apa yang kunyanyikan dan ku inspirasikan, related dengan keadaan."

"Dan tidak mungkin kita menggunakan lirik-lirik yang kontroversi atau lirik yang provokatif. Nggak bisa lagi begitu. Aku merasakan gak bisa begitu lagi, tidak bisa lagi dengan lemah-lembut. Sama kayak mamak-mamak gitu, jika melawan ya ‘telanjang' aja gitu. Telanjang apa? Bukan telanjang begitu."

“Yaa begitu juga, dengan sebuah karya, kita juga harus bisa melawan dengan kejujuran dan keihklasan, supaya bisa membuktikan terkait 'Tega Lu Ya!’”

Soal konsep dan lirik lagu, sepenuhnya karya Osen Hutasoit.

“Aku hanya bisa menceritakan apa yang kurasakan. Dan Osen menulis liriknya,” ujar Guido. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini