TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan petenis meja peraih 13 medali emas SEA Games dan Olympian, Rossy Syech Abubakar sepakat dengan rekannya sesama Olympian Ling Ling Agustin yang mengkritik tajam tidak tuntasnya konflik dualisme organisasi tenis meja yang sudah 12 tahun.
Bahkan, Rossy yang menembus 16 Besar Olimpiase 1992 Barcelona meminta Pengurus Pusat Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PP PTMSI) pimpinan Oegroseno dan Pengurus Besar Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PB PTMSI) pimpinan Peter Layardi diputihkan dan diambil alih pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) demi menyelamatkan atlet tenis meja ke depan.
"Saya mendukung pernyataan Ling Ling Agustin yang meminta Pak Oegroseno dan Peter Layardi yang merasa memiliki organisasi tenis meja jangan bicara soal kepentingan atlet. Tatanan pembinaan olahraga tenis meja sudah berantakan dan masa depan atlet terkubur beberapa generasi," ungkap Rossy saat dihubungi Senin (25/9/2023).
"Makanya, saya mengusulkan PP PTMSI dan PB PTMSI segera diputihkan saja dan diambilalih pemerintah dalam hal ini Kemenpora untuk sementara dan mencari figur yang tepat sehingga prestasi tenis meja yang merupakan cabang olahraga resmi Olimpiade bisa dibangun kembali," katanya lagi.
Lantas kenapa menyarankan pemutihan dan pengambilalihan pemerintah? Rossy menjawab, "Pembinaan olahraga tenis meja sudah tidak jelas arahnya mau kemana.
Jangankan untuk ajang PON, SEA Games dan Asian Games, di Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) aja tenis meja tidak dipertandingkan
Lantas arah pembinaan klub-klub tujuannya kemana? Apa hanya sebatas main turnamen antar club saj? Pasti para pembina, pelatih dan terutama atlet punya tujuan lebih yaitu membela Indonesia di kancah internasional dan bermain multi event dan single event yang ada di Indonesia."
Pengambilalihan pemerintah tersebut, kata Rossy, harus didukung Komite Olimpiade Indonesia (NOC Indonesia) dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat dengan memutihkan PP PTMSI dan PB PTMSI.
"Konflik dualisme organisasi tenis meja itu sudah 12 tahun tak selesai. Tercatat sudah 3 pelaksanaan PON dan 7 pelaksanaan SEA Games berlalu. Seperti yang saya sebut tadi diputihkan saja oleh KOI dan KONI dan diambilalih pemerintah karena sudah tidak ada titik temu dimana keduanya mengedepankan ego masing-masing," tegasnya.
Baik Rossy maupun Ling Ling mengaku prihatin melihat kondisi tenis meja Indonesia yang semakin terkubur. Bahkan, keduanya miris melihat cabang tenis meja yang pernah menyapu 7 medali emas yang diperebutkan pada SEA Games Singapura 1993 itu sudah tidak terdengar lagi mengibarkan Merah Putih di ajang pesta olahraga dua tahunan negara Asia Tenggara. Yang lebih parah lagi, keduanya yang mengklaim paling berhak saling menggugat ke pengadilan.
"Bukan hanya saya tetapi siapa pun atlet tenis meja nasional pasti prihatin dengan kondisi tenis meja yang sudah semakin terpuruk dengan adanya konflik dualisme kepengurusan tenis meja Indonesia. Dan, kami sebagai insan tenis meja juga pasti sedih dan menangis melihat Kontingen Indonesia di Asian Games 2022 Hangzhou tanpa kehadiran atlet tenis meja," katanya lagi.
Dampak dualisme itu, kata Rossy, bukan hanya membuat atlet terombang-ambing tetapi juga membunuh karir mereka untuk membawa harum nama bangsa dan negara.
"Posisi atlet sekarang itu serba salah. Kalau mereka ikut kubu yang satu maka dicurigai kubu lain sebagai pendukung. Begitu juga sebaliknya. Tolonglah jangan terus korbankan atlet yang tak berdosa. Para Atlet jug punya keinginan mewakili Indonesia dalam setiap multievent dan single event di dalam negeri dan luar negeri. Ayolah Pak Oegroseno dan Pak Peter Layardi legowo," imbuh Rossy.