TRIBUNNEWS.COM BOGOR - Hujan yang mengakrabi Kota Bogor, ada baiknya dihadapi dengan sesuatu yang membawa kehangatan di hati.
Semangkok sop buntut dengan kuahnya yang mengepul bisa menjadi salah satu pilihan.
Sop buntut Ma’emun bisa dibilang sop buntut legendaris di ”Kota Hujan”.
Ilustrasi sop buntut.
Nama Ma’emun berasal dari nama Siti Maemunah, sang pendiri yang dipanggil Mak Emun oleh anak-anak dan orang-orang di sekitarnya.
Di warung-warung yang mewarisi resepnya, nama Mak Emun ditulis sebagai Ma’emun.
Ciri khas sop buntut Ma’emun adalah daging buntutnya yang empuk dan mampu terlepas dari tulangnya, tetapi masih menyisakan sedikit rasa kenyal.
Meskipun sangat empuk, penampilan dagingnya saat dihidangkan terkesan segar dengan bagian dalam masih menampakkan warna sedikit kemerahan.
Untuk memperoleh rasa daging yang empuk, buntut sapi direbus selama berjam-jam.
Dengan begitu, lemak yang terkandung dalam daging pun bisa ikut keluar dan memberi cita rasa gurih.
Untuk mengimbangi rasa gurih itu, daging buntut dihidangkan bersama potongan wortel, kembang kol, dan irisan daun bawang yang dimasak terpisah. Di atasnya ditaburi irisan daun seledri dan bawang goreng.
Warung sop buntut Ma'emun di Bogor, Jawa Barat, Selasa (13/10/2015). (Kompas/Lucky P)
Agar tidak hancur saat dimasak, kumpulan potongan daging buntut diikat dengan lilitan tali bambu muda.
Jika pembeli berkehendak, daging dipertahankan dalam lilitan tali bambu saat disajikan.
Namun, pada umumnya, daging buntut dihidangkan dalam keadaan sudah terpisah dari lilitan tali bambu.
Ada tiga atau empat kelompok besar daging yang disajikan dalam mangkok bersama sayuran.