Beberapa jenazah dibaringkan dengan dinding anyaman bambu untuk menghindari serbuan binatang buas. Sebatang pohon raksasa taru menyan menjulang. Konon, pohon itulah yang menetralkan bau pembusukan mayat.
Hanya orang yang meninggal secara wajar bisa dimakamkan di Seme Wayah. Mereka yang meninggal karena kecelakaan atau tak wajar dimakamkan di Seme Bantah, sedangkan Seme Muda untuk mengubur bayi, anak kecil, atau warga yang belum menikah.
Perempuan Trunyan dilarang mengunjungi makam-makam yang saling terpisah itu. Mereka yang baru saja dari makam juga tak boleh langsung masuk ke Pura Pancering Jagat, harus melalui proses pembersihan.
Menurut Kepala Desa Trunyan Wayan Arjana, industri wisata belum berdampak kepada warga. Perekonomian desa lebih banyak ditopang pertanian dan peternakan. Warga pun cenderung acuh dengan kehadiran wisatawan.
Kehadiran pengemis menjadi alarm bahwa Trunyan belum bebas dari kemiskinan. Jumlah penerima beras untuk rakyat miskin, misalnya, naik dari 438 keluarga pada 2011 menjadi 560 keluarga pada 2015.
Setiap hari, rata-rata, ada lima boat serta lima perahu dayung mengangkut wisatawan ke Trunyan. Dari setiap perahu, pemerintah desa memperoleh retribusi Rp 15.000. Ongkos sewa perahu berkapasitas tujuh orang bagi wisatawan Rp 600.000. Dalam balutan kemiskinan, Trunyan menampakkan keunikan berpadu keindahan. (Mawar Kusuma)