Cara mengambilnya pun ada tata caranya, yaitu dengan cara melemparkan sepasang kayu berbentuk seperti apel yang dibelah, namanya papoyan.
Bagian atas papoyan berwarna hitam sementara bagian bawahnya hitam juga namun agak putih.
Papoyan harus dilemparkan di depan patung dewa dan tumpukan bogam.
Jika posisinya bagian yang hitam keduanya di atas, artinya dewa tidak mengizinkan kita mengambil bogam.
Namun jika posisinya ternyata bagian yang agak putih ke atas keduanya, maka bogam boleh diambil.
"Tetapi kalau satu hitam satu agak putih, artinya kita harus mengulang lagi melempar papoyan pada Cap Go Meh tahun depan," terangnya.
Jika berhasil membawa pulang bogam, maka harus disimpan di kamar kita hingga berhasil mendapatkan jodoh atau pacar.
Bogam harus dikembalikan ke kelenteng yang sama jika kita sudah tidak jomblo lagi.
Dikembalikannya pada saat perayaan Cap Go Meh, diganti dengan bogam yang baru dan masih segar sebagai ungkapan rasa syukur kepada dewa karena kita sudah berhasil mendapatkan pasangan.
Nah, bogam-bogam yang sudah dikembalikan ini bisa diambil lagi oleh mereka yang masih jomblo.
Jika bogam yang di kelenteng sudah layu dan tidak ada yang mengambilnya, maka akan dibakar di pagoda.
Tradisi ini sudah lama sekali ada di Banjarmasin, bahkan sebelum mantan Presiden RI kedua, Soeharto berkuasa.
Saat Soeharto berkuasa, segala aktifitas warga Tionghoa di Indonesia tidak diizinkan digelar, termasuk perayaan Cap Go Meh ini.
"Dulu pas zaman Pak Harto, tradisi memakai bogam ini tidak kami gelar karena tidak boleh. Baru sekarang ini saja kami angkat lagi untuk pelestarian kebudayaan warga Tionghoa di Banjarmasin. Lontong dan kembang bogam itu kan punya orang Banjar, tetapi kami pakai juga saat Cap Go Meh," katanya.