Sebagaimana diketahui, ERAU berasal dari bahasa lokal/daerah etnis Kutai dan disebut pula Eroh yang berarti ramai, hilir mudik bergembira, berpesta ria.
Kegiatan ini dilaksanakan secara adat oleh Kesultanan/kerabat kerajaan dengan maksud atau hajat tertentu dan diikuti oleh masyarakat dalam wilayah administratif Kesultanan.
Namun, semenjak Kesultanan Kutai bergabung dengan NKRI dan menjadi daerah Swapraja, kemudian menjadi Daerah Istimewa Kutai dan Daerah Tingkat II Kutai, praktis Upacara Adat Erau mengalami kevakuman.
Kendati demikian, pada tahun 1970-an Bupati Kutai, Ahmad Dahlan berupaya melestarikan kembali Upacara Erau.
Meski saat itu, dengan tataran upacara adat yang belum lengkap seperti saat ini, karena pada waktu itu Kesultanan Kutai Kartanegara belum memiliki Sultan, meski sudah ada Putra Mahkota.
Gelaran upacara Erau pun dipadukan dengan hari jadi kota Tenggarong pada tanggal 28 September dan dimeriahkan dengan pertunjukkan seni dan budaya daerah.
"Meski, Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura tidak lagi mendiami istana yang telah beralih fungsi menjadi Museum Memorial," kata Edi Damansyah.
"Namun Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara berkomitmen untuk terus menghidupkan kembali tradisi Kesultanan," sambungnya.
Bupati Kukar Edi Damansyah berharap, seni budaya ini bisa dilestarikan dan menjadi destinasi objek wisata dan memberikan manfaat dan dampak bagi perekonomian masyarakat.
Begitu pula dengan Sultan H Aji Muhammad Arifin, ia berharap Erau Adat Pelas Benua dapat berjalan dengan baik dan membawa berkah untuk masyarakat, terutama di segi ekonomi. (*)
Sebagian Artikel ini telah tayang di TribunKaltim.co dengan judul Ribuan Warga Saksikan Pembukaan Erau Adat Pelas Benua 2022 di Kutai Kartanegara