Oleh: Richard Susilo*
TRIBUNNEWS.COM - Penulis sendiri bukan pengamat sepakbola, tetapi baru sebulan terakhir ini fokus kepada permasalahan persepakbolaan di Indonesia. Keributan antara PSSI - KPSI, ternyata permasalahan sebenarnya tidaklah sulit, asalkan semua pihak mau bicara baik-baik, hati terbuka, jauhkan egoisme, dan pemerintah silakan saja, harus adil berada di tengah-tengah, benar-benar menjadi penengah yang profesional. Maka selesailah semua permasalahan.
Satu yang mengganjal di atas semua itu juga adalah masalah uang. Seseorang yang merasa kaya raya, punya uang, punya kuasa, di lain pihak ada orang yang "terbutakan" mata hatinya karena hebatnya pengaruh uang di pikirannya, di hatinya, membuat permasalahan menjadi keras, sulit dipecahkan.
Petinggi FIFA dan AFC serta federasi sepakbola dunia lain saja sudah tahu hal ini. Bahkan berkomentar, "Masalah you itu kan sebenarnya hanya soal commercial rights, bukan?" paparnya kepada seorang pengurus PSSI.
Sementara selama ini penyiaran di Indonesia sudah enak dilakukan pihak tertentu mengenai persepabolaan di Indonesia, penonton pun membeludak. Bayangkan penduduk Indonesia 240 juta orang kalau separuh saja menonton sudah 120 juta mata di depan televisi. Luar biasa jumlah penonton tv tersebut.
Jumlah penonton yang membeludak, tentu iklan pun akan semakin banyak masuk ke perusahaan tv tersebut.
Tetapi apabila jumlah penonton sedikit, kerugian per hari sebuah perusahaan televisi adalah puluhan miliar rupiah, bukan lagi jutaan rupiah.
Bisa dibayangkan saja, kalau selama ini dapat banyak keuntungan tahu-tahu dicegat, distop dan kerugian puluhan miliar per hari jelas akan membuat orang senewen, pusing, stress berat, maka bukan tak mungkin apa saja akan dilakukan si bos agar neraca keuangan perusahaannya hitam kembali.
Lalu apa yang dilakukan? Antara lain menguasai PSSI agar si pemilik uang bisa mengontrolnya, mendapatan kembali banyak keuntungan khususnya pada televisi yang dimilikinya.
Lha, kalau soal uang kan bisa bicara baik-baik dengan pihak PSSI? Di sinilah terjadi salah pengertiann, disangka menteri tertentu pro PSSI, disangka ini dan itu, sehingga pemilik uang kesal juga. Padahal pada kenyataan tidak demikian.Karena itu perlu penengah yang fair dan jujur adil untuk menjadi penengah kedua pihak ini, menyampaikan komunikasi dengan baik.
Benar, hambatan komunikasi. Tak ada yang menjelaskan keadaan sebenarnya mengenai keadaan di lapangan dan pola pikir pimpinan PSSI terutama kepada si bos ini, sehingga marah-marah, runyam jadinya.
Kalau komunikasi bisa berjalan baik, kan mudah, tinggal berhitung saja. Saya perlu ini itu sehingga bisa menyiarkan dengan baik, dapat keuntungan baik dan sebagainya, berapa duit mesti saya bayar? pure bisnis, tapi secara terbuka transparan antara kedua pihak.
Sementara PSSI sedang negosiasi dengan Newscorp yang kemungkinan akan memegang Commercial Rights dari penyiaran dan hal-hal komersial bagi persepakbolaan di Indonesia khususnya liga profesional. Nah orang kaya dan televisi Indonesia semuanya diajak serta tidak?
Sudah. Tetapi ada orang kaya yang cukup licik dan tidak mau ambil risiko, sementara perhitungan bisnis PSSI juga repot kalau mau mengikuti kehendak si kaya itu.
Sebagai catatan, apabila commercial rights tersebut ditandatangani, dari berbagai sumber yang saya tanyakan, puluhan miliar rupiah per tahun akan masuk ke kocek PSSI Untuk kontrak 30 tahun mendatang. Uang tidak sedikit tentunya bukan?
Nah, kalau si bos pemilik televisi di Indonesia itu memang pengusaha tulen yang gentlemen, apakah berani pula memberikan puluhan miliar rupiah per tahun kepada PSSI agar bisnis televisinya juga berjalan baik, plus hak komersial lain? Jangan hanya bicara, berani tandatangan tidak di atas kontrak dengan angka yang jelas?
Itu juga soal bisnis dan keberanian seseorang yang memutuskan sebuah business project. Terkadang harus dilakukan agar semua clear, jauh dari masalah. Menjadi pertanyaan, apakah semua pengusaha Indonesia memiliki keberanian untuk menjadi pengusaha yang gentlement seperti itu, tidak main belakang, sogok sana sogok sini yang malah bikin kacau semua pihak pada akhirnya.
Apabila pola main belakang tetap dilakukan dan memainkan pion tertentu untuk merusak dunia persepakbolaan di Indonesia, semua pihak akan pusing, terlebih parah lagi, citra Indonesia akan rusak di mata internasional.
Presiden, FIFA Joseph Blatter, sendiri sudah pusing menyatakan kepada penulis, "Kok bisa-bisanya ya sebuah negara memiliki dua tim nasional, kompetisi yang terpecah. Apa bisa Anda bayangkan, tidak?"
Masyaraat Indonesia saat ini tidak bodoh. Keterbukaan informasi di mana pun ke mana pun oleh siapa pun membuat pelajaran tersendiri bagi kita semua. Apapun yang jelek di lakukan, pasti bau itu akan ke luar juga, hanya soal waktu.
Daripada keluar energi kepada hal yang tak benar, sebaiknya energi itu kita satukan dengan kepala dingin untuk menyelesaikan semua ini dengan cepat dan baik, karena taruhannya adalah nama baik Indonesia sendiri di mata internasional.
Bukan nama PSSI bukan nama KPSI dan bukan nama pemerintah. Tetapi kita semua orang per orang, per individu warga negara Indonesia yang akan malu dan rugi di luar negeri bila FIFA sudah mengetok palu memberikan sanksi Indonesia tak boleh berpartisipasi ke luar negeri. Penulis sih tidak mau ada sanksi itu. Atau Anda ingin sekali Indonesia diberi sanksi?(jangan salah paham, sanksi diberikan FIFA kepada Indonesia, kebetulan melalui PSSI).
*Penulis adalah mantan wartawan Bisnis Indonesia dan Kompas, 20 tahun tinggal di Tokyo, Jepang
TRIBUNNERS POPULER