Laporan Tribunners, Toni Ervianto *)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rapat Paripurna DPR-RI pada 25 Juni 2013 belum sepakat untuk mengesahkan RUU Ormas menjadi UU, walaupun semua fraksi menerima untuk segera disahkan kecuali fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) masih menolaknya. Menurut M Najib, anggota Pansus RUU Ormas dari PAN yang juga mantan aktivis Muhammadiyah mengatakan, FPAN lebih condong menyetujui pengesahan RUU Ormas, karena sejumlah ormas yang mengubah posisinya dari menentang menjadi mendukung RUU Ormas.
Pihak DPR-RI sendiri, bila tidak aral melintang, maka pengesahan RUU Ormas menjadi undang-undang akan dilaksanakan pada 2 Juli 2013.
Pembahasan RUU Ormas ini sudah memakan waktu yang sangat lama, karena ide pemerintah untuk membuat RUU Ormas yang kemudian disambut legislatif sudah terjadi sejak tahun 2011 (sehingga dapat dibayangkan berapa besar anggaran negara yang sudah dikeluarkan untuk membahasnya sampai saat ini).
Meskipun demikian, menurut catatan berbagai kalangan setidaknya ada 98 Ormas yang menolak RUU Ormas ini, termasuk salah satunya PP Muhammadiyah melalui Din Syamsuddin, Ketua Umumnya.
Menurut Din Syamsuddin, jangan sampai melalui UU Ormas nanti ada pembalikan arah jarum jam sejarah ke arah otoritarianisme dan represif, dimana hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat karena melemahkan konsolidasi demokrasi Indonesia dan mempersempit ruang partisipasi warga.
Din Syamsuddin menilai, pembahasan RUU Ormas sudah keliru sejak awal, karena justru bertolak belakang dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menyebutkan masyarakat diberikan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul. (Media Indonesia, 25 Juni 2013).
Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Syaiful Bahri menilai RUU Ormas lebih represif dibandingkan dengan UU No 8 Tahun 1985, dengan alasan UU No 8 Tahun 1985 lebih sederhana karena jumlah pasalnya hanya 20 pasal, sedangkan RUU Ormas memuat 88 pasal. Menurutnya, PP Muhammadiyah menolak RUU Ormas karena akan mengarah kepada rezim birokrasi perizinan.
Penolakan terhadap RUU Ormas pada dasarnya menyebutkan, RUU Ormas merupakan instrumen negara yang masuk ke wilayah privat dari kebebasan berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Negara menjadi penentu dapat tidaknya seseorang berserikat.
Ada juga yang menyatakan, negara akan mengontrol seluruh aktivitas politik warga negara dengan berlindung di balik politik perizinan, pelaporan dan pengawasan. Mereka yang menolak juga mempersoalkan Pasal 16 RUU tersebut, yang berbunyi pendaftaran ormas yang tidak berbadan hukum harus memiliki surat keterangan terdaftar yang diberikan oleh Menteri bagi ormas yang memiliki wilayah kegiatan nasional, gubernur bagi ormas yang memiliki wilayah kegiatan provinsi dan bupati/walikota bagi ormas yang memiliki wilayah kegiatan kabupaten/kota.
Pasal 21 dan 61 juga dinilai menuai kontroversi karena berpotensi melanggar HAM. Dalam Pasal 61 diantaranya disebutkan bahwa ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras dan golongan. Pasal itu layaknya pasal karet yang sangat subyektif (Bedah Editorial Media Indonesia, 27 Juni 2013).
WATON SULOYO DAN PROKNASTINASTI
Berdasarkan teori pendulum, pro kontra terhadap RUU Ormas ataupun perkembangan dinamika politik Indonesia saat ini sebenarnya masih dalam tahap keteraturan dengan dinamika yang berlawanan, dengan tidak jarang menempatkan pihak pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) berada dalam posisi sebagai “common enemy”.
Dari berbagai alasan yang dikemukakan pihak yang kontra terhadap RUU Ormas, penulis menilai bahwa mereka adalah penganut “invisible hand theory” yaitu sebuah teori yang menyakini bahwa biarkan perjalanan hidup di dunia ini dengan segala dinamikanya berjalan dengan sendirinya, karena dapat berjalan sendiri dan memecahkan masalahnya sendiri. Kelompok ini yang seringkali menilai kondisi saat ini sebagai kondisi negara “autopilot” karena ketidakhadiran negara atau pemerintah, padahal mereka yang memposisikan dan mendesign untuk meminimalisir peran negara/pemerintah, sedangkan apabila terjadi permasalahan maka negara atau pemerintah yang ditunjuk sebagai “biang keladinya” dengan melakukan pembiaran.