News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Film 'The Act of Killing' dan Segala Kontroversinya

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Film Jagal/The Act of Killing

Oleh Otjih Sewandarijatun *)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fungsi media massa termasuk film yang seharusnya dijadikan sarana untuk mencerdaskan masyarakat, namun di era digitalisasi dan demokratisasi sekarang ini telah terjadi penyimpangan fungsi dari film itu sendiri. Hal ini terlihat salah satunya dari pemutaran film The Act of Killing di gedung bioskop Phoenix Picture House, Kota Oxford di awal bulan Juli 2013, dan akan dilakukan di beberapa negara di Inggris, Irlandia dan bahkan ada kemungkinan di AS karena konon jadwal pemutarannya sampai Oktober 2013.

Dalam pemutaran film ini pada 4 Juli 2013 di Oxford hanya ditonton 150 orang yang pada umumnya berdasarkan pemberitaan berbagai media massa, mereka menyatakan tidak tertarik karena langsung meninggalkan gedung bioskop begitu filmnya selesai.

Pemutaran film ini juga dikaitkan dengan peringatan berdirinya LSM Tapol ke-40. LSM yang berbasis di Inggris bekerjasama dengan The Bertha Foundation dan Picturehouse Cinema sebelumnya telah melakukan kampanye bertemakan “Minta Maaf: Say Sorry for 1965”.
Disinilah peran film tersebut telah dipolitisasi, karena orang awam saja akan dapat menilai bahwa film tersebut pasti mempunyai tujuan politis setidaknya mendesak Pemerintah Indonesia menyampaikan permintaan maaf kepada korban dan keluarga korban kekerasan tahun 1965/1966 serta mengakui kebenaran atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Film The Act of Killing sebenarnya merupakan langkah propaganda yang dilakukan oleh LSM Tapol. Karena Paul Barber yang merupakan Koordinator LSM Tapol yang juga sangat aktif mendukung kampanye West Papua Movement, membuka acara dengan dengan menyampaikan ajakan kepada penonton yang hadir untuk mengirimkan postcard kepada Duta Besar RI London yang pada intinya berisi permohonan bagi Duta Besar RI London untuk meneruskan desakan permintaan maaf kepada Presiden RI.

Barber juga mendorong agar para hadirin menandatangani petisi dan memberikan donasi online yang dapat dilakukan melalui website yang dikelolanya.

Selain itu, Tapol juga membagikan lembaran mengenai kampanye dimaksud yang disertai dengan latar belakang sejarah kejadian di tahun 1965 dari perspektif LSM Tapol; dan gugatan terhadap apa yang mereka sebut sebagai impunity di Indonesia, serta pernyataan pers dari Amnesty International bertajuk Indonesia: Attorney General must act on Komnas HAM report on 1965-66 violations tertanggal 27 Juli 2012.

Menurut Dr. Kevin Fogg, seorang Indonesianist muda yang sangat fasih berbahasa Indonesia serta staf pengajar pada Jurusan Sejarah, Universitas Oxford, dirinya mempertanyakan konteks pembuatan film ini serta proses riset dan pembangunan pemahaman atas kejadian tahun 1965 yang dilakukan oleh JO, sutradara film.

Secara khusus, Dr. Fogg menggugat istilah “genosida” yang diajukan oleh JO dalam menjelaskan kejadian di pada Indonesia tahun itu, mengingat bahwa tidak ada satu pun elemen dalam film ini yang dapat dikaitkan dengan ketentuan genosida.

Menjawab kritikan Dr. Kevin Foog, dalam kesempatan diskusi tersebut, JO menyatakan, proses pembuatan film ini diawali dari ketertarikannya atas pernyataan-pernyataan boastful tentang pembunuhan yang dilakukan tahun 1965 dari para “pelaku” tatkala melakukan proses pembuatan film The Globalisation Tapes (2003) di Medan, kemudian menelusuri dan mewawancari para “pelaku”, dan membuka arsip-arsip di berbagai pusat dokumentasi di AS.

Terkait dengan pemakaian istilah genosida, JO menyatakan istilah itu digunakan demi kekuatan moral yang paling tinggi untuk menyebut aksi kejahatan pembunuhan sebagai sebuah tindakan yang sangat tercela dan perlu mendapat hukum. Dengan demikian, istilah ini secara sadar digunakan untuk mendorong agenda politis dari kampanye Tapol ini.

Menurut JO, dalam pembuatan film ini dia mendapatkan dukungan dari para aktivis HAM dan tokoh media di Indonesia, termasuk salah seorang tokoh pers senior dari sebuah majalah yang mendorong JO melakukan investigasi di berbagai tempat di Indonesia, yang salah satu hasil investigasinya pernah dimuat di salah satu majalah dalam sebuah edisi khususnya pada Oktober 2012 yang lalu.

JO kemudian menyebutkan, salah satu concern-nya adalah memastikan keselamatan para koleganya yang berasal dari Indonesia. Untuk itulah, maka tidak ada satu pun nama para crew dari Indonesia yang disebutkan dalam credit title di akhir film, melainkan ditulis sebagai anonymous.

JO bahkan menyebutkan dalam diskusi film tersebut di Oxford bahwa dirinya saat ini tengah mempersiapkan produksi lanjutan mengenai para survivors peristiwa 1965, yang melibatkan kepentingan serta elemen internasional.

Penulis sepakat dengan Dr. Kevin Foog bahwa peristiwa 1965 lebih merupakan dinamika politik internal Indonesia dan penggunaan istilah genocide patut untuk disesalkan mengingat batasan legal istilah ini sesuai hukum internasional tidak terpenuhi serta film ini tidak lebih dari penggambaran tindakan kekerasan yang dilakukan oleh individu-individu sesuai versi pelaku yang sangat subyektif.

Disamping itu, Pemerintah Indonesia perlu menanyakan kepada JO sebagai sutradara film The Act of Killing, karena secara etis perlu dipertanyakan mengapa JO memanfaatkan pengakuan “pelaku kekerasan” bagi kepentingan pribadi atau komersial, termasuk klaim atas kebenaran dan preaching mengenai praktik HAM di Indonesia.

Penulis menduga bahwa JO hanya “memblow-up” saja peristiwa 1965 tanpa didasari fakta yang jelas misalnya terkait dengan “pelaku kekerasan” karena semua orang dapat mengaku sebagai pelaku, apalagi saksi-saksi dari kasus tersebut sudah sangat berkurang karena berbagai sebab terutama banyak yang sudah meninggal dunia karena sudah tua.

Penulis juga sangat yakin, JO sebagai sutradara tidak akan dapat menjelaskan secara gamblang sumber dari ancaman terhadap dirinya selama pembuatan film tersebut, karena JO sebagai sutradara tentunya harus membuat “bluff” agar filmnya laku.

Akibat membuat film ini, tidak menutup kemungkinan JO akan mendapatkan protes dan ketidakpuasan dari masyarakat Indonesia terutama aktivis kepemudaan, keagamaan dan kebudayaan di Indonesia yang memandang film ini masih “timpang” dan “sarat propaganda politis”, sehingga bisa jadi JO akan menghadapi upaya hukum dari kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan film ini.

Dari rangkaian cerita “dibalik” pembuatan film ini, nampak jelas bahwa sebenarnya peristiwa 1965 masih menimbulkan dendam di beberapa kalangan tertentu dan dendam itu tidak mudah berlalu, walaupun sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Seharusnya, kita sebagai anak bangsa tidak pantas menyimpan rasa dendam itu, karena dapat dimanfaatkan “orang diluar Indonesia” untuk mengacak-acak kita semua.

*) Alumnus Universitas Udayana, Bali, dan pemerhati masalah media massa dan film. Tinggal di Jakarta Timur.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini