Oleh: Wahidah Rustam, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ancaman hukuman mati kembali dialami buruh migran Indonesia khususnya buruh migran perempuan.
Berbagai situasi dan kondisi kerja tidak layak bahkan sarat akan kekerasan, tekanan fisik dan psikis, penganiayaan, ancaman kekerasan, ketidaktahuan tehadap hukum dan budaya Negara tujuan jadi pemicu yang menempatkan Buruh Migran menghadapi ancaman hukuman mati.
Satinah, salah satu buruh migran perempuan yang mengalami ancaman hukuman mati atas tuduhan pembunuhan terhadap majikan perempuannya. Satinah terpaksa membunuh karena tak terima dituduh mencuri uang sang majikan, sering dianiaya dan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh majikan.
Sayangnya pembelaan dan pendampingan yang dilakukan pemerintah tidak maksimal. Satinah bahkan harus menjalani lima kali sidang tanpa adanya pendampingan dan bantuan hukum oleh pemerintah Indonesia.
Ini menunjukkan upaya pemerintah dalam melindungi hak buruh migran perempuan belum maksimal.
Pemerintah penting memahami bahwa perlindungan buruh migran perempuan dari ancaman hukuman mati bukan hanya persoalan Diyat, melainkan persoalan ketidakadilan yang dialami oleh buruh migran perempuan menjadi hal utama dalam perlindungan hak buruh migran perempuan.
Membayar diyat tidak dapat dilakukan terus menerus, tetapi melakukan diplomasi politik dan membangun mekanisme perlindungan yang komprehensif bagi buruh migran Indonesia dari berbagai kekerasan, pelanggaran hak, termasuk ancaman hukuman mati.merupakan kewajiban dan tanggung jawab Negara/pemerintah.
Satinah bukan Buruh Migran pertama yang mengalami ancaman hukuman mati. Berbagai data menunjukan bahwa hingga tahun 2014 jumlah ancaman hukuman mati yang dialami Buruh Migran mencapai 265.
Persoalan ini menunjukan bahwa mekanisme dan sistem migrasi dan perlindungan bagi Buruh Migran tidak terbangun dengan baik. Lambatnya pendampingan dan penanganan kasus oleh
Pemerintah, turut memiliki andil atas banyaknya buruh migran, terutama yang mengalami kekerasan dan pelanggaran hak termasuk kriminalisasi dan ancaman hukuman mati.
Berdasarkan pengalaman Solidaritas Perempuan (SP) dalam menangini kasus buruh migran perempuan, pemerintah seringkali kecolongan terhadap kasus-kasus yang tengah berjalan.
Sebut saja Rosita, Buruh Migran Perempuan asal Karawang yang juga pernah terancam hukuman pancung karena dituduh membunuh temannya sesama pekerja rumah tangga. Pemerintah baru mengetahui adanya kasus Rosita setelah satu tahun kasus tersebut berjalan dengan telah menjalankan tiga kali sidang.
Rosita mengalami berbagai bentuk kekerasan selama didalam tahanan/penjara. Selama berhari-hari, Rosita tidak diperbolehkan tidur, tidak dibolehkan melakukan komunikasi dengan pihak pemerintah Indonesia, bahkan Rosita diintimidasi dan dipaksan mengakui pembunuhan yang tidak dilakukannya..
Kasus lain yang ditangani oleh SP yaitu kasus Warnah (30 tahun) dan Sumartini (38 tahun), yang harus menghadapi ancaman hukuman mati akibat tuduhan sihir.
Ia sempat ditanam setengah badan di dalam pasir dan dipaksa mengakui melakukan sihir yang tidak dilakukannya. Hingga saat ini keduanya masih mendekam di penjara Maalaz Arab Saudi karena pengadilan pada akhirnya memutuskan 10 tahun penjara dan cambuk.
Hingga saat ini, SP terus menangani kasus dan menuntut pemerintah Indonesia untuk berupaya lebih maksimal dalam membebaskan Sumartini dan Warnah dari hukuman 10 tahun penjara dan cambuk.
Di sisi lain, banyak kasus Buruh Migran Perempuan yang meninggal di Negara tujuan. Salah satunya, Nani Suryani (27 tahun), Buruh Migran Perempuan (BMP) asal Karawang yang kembali ke Indonesia dengan jasad yang tidak bernyawa. Nani meninggal akibat pembunuhan yang dilakukan majikannya.
Namun, sampai saat ini hak-hak keluarga Almh, Nani tidak terpenuhi, bahkan prosesnya sangat lambat dan berlarut-larut.. Hingga saat ini keluarga Nani masih menunggu berita keputusan persidangan Arab Saudi, agar keluarga mendapatkan hak-haknya atas pembunuhan yang dilakukan oleh majikan.
Kekerasan dan pelanggaran hak buruh migran yang terjadi, menunjukkan bahwa sistem dan mekanisme perlindungan BMP yang diatur dalam Konvensi Migran PBB 1990 dan CEDAW tidak berjalan maksimal.
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa terjadi diskriminasi terhadap penyelesaian dan penanganan kasus tuduhan pembunuhan terhadap buruh migran perempuan dengan buruh migran perempuan yang dibunuh.
Artinya terjadi pembedaan perlakukan terhadap Buruh Migran Indonesia dengan warga di Negara Tujuan.
Negosiasi politik pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara tujuan buruh migran (arab Saudi) terhadap kasus hukuman mati yang dialami buruh migran, memperlihatkan posisi tawar pemerintah Indonesia sangat lemah.
Lemah dalam membela dan melindungi hak-hak buruh migran. Pemerintah tidak melakukan tekanan kuat terhadap pemerintah Arab Saudi atas kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran yang dialami Buruh MIgran Perempuan di Arab Saudi.
Kasus Satinah dan Nani merupakan fakta atas lemahnya posisi tawar pemerintah Indonesia. Satinah hanya bisa diselamatkan dengan membayar diyat Rp. 21 M, sementara keluarga Nani yang menuntut Rp. 1 M, tidak dapat diperjuangkan oleh pemerintah Indonesia.