News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Hukuman Kebiri

Kebiri Kimiawi tidak akan Mengakhiri Wabah Paedofilia

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

Penulis: Iffah Ainur Rochmah
Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

PRESIDEN Joko Widodo setuju pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan kepada anak dalam bentuk kebiri atau kastrasi.

Terobosan pemerintah ini dilakukan untuk mencegah kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual yang semakin marak.

Kebiri kimiawi adalah metode kebiri dengan suntikan antiandrogen untuk menurunkan bahkan menghilangkan sementara hormon testosteron pelaku. Apakah sanksi ini bisa menimbulkan efek jera bagi paedofil?

Merespon kondisi ini Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

1. Menolak kebiri kimiawi sebagai sanksi tambahan untuk mengatasi kekerasan seksual.

- Kebiri kimiawi bukanlah solusi. Kebiri kimiawi bagi predator seksual anak tidak akan memberikan efek jera, karena keterbangkitan seks tidak sebatas hormon, tetapi juga fantasi.

- Bila bicara hukuman yang tepat yang menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa maka hukuman tersebut hanya hukuman dari Allah Swt. Syariah Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku paedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya, sehingga tidak boleh melaksanakan jenis hukuman di luar ketentuan Syariah Islam itu.

(1) jika yang dilakukan adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan; (2) jika yang dilakukan adalah sodomi (liwath), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain; (3) jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir.

2) Pemberatan hukuman tidaklah cukup untuk mengatasi berulangnya kasus -kasus paedofilia dan kejahatan lainnya terhadap anak.

Makin banyak dan makin sadisnya kekerasan seksual terhadap anak mengindikasikan ada problem sistemik. Yakni kasus-kasus yang terjadi tidak semata disebabkan faktor tunggal adanya individu-individu penjahat. Tapi juga menyangkut tata nilai dan tata aturan yang berjalan di negeri ini.

Karena itu penyelesaiannya harus menyentuh perubahan sistemik, perubahan integral. Tidak cukup dengan menangkap pelaku dan memberi hukuman sekeras-kerasnya saja.

Tata nilai yang terus disuntikkan di tengah masyarakat adalah liberalisme atau kebebasan. Bebas berperilaku, bebas berbuat dan bebas memiliki dsb. Nilai-nilai agama dicampakkan, bahkan rasa kemanusiaan juga kalah dengan nafsu kebebasan. Lebih buruk lagi, negara juga menyusun tata aturan yang dilandasi kebebasan dan menjaga liberalisme.

Mengapa semakin banyak muncul kasus paedofilia?

Individu pelakunya kebanyakan kecanduan konten porno, tidak punya benteng iman. Pendidikan di keluarga dan pelajaran di sekolah mandul menghasilkan iman yang kokoh. Apalagi konten porno melalui media dikonsumsi setiap waktu, juga perempuan-perempuan yang membuka aurat ada di mana-mana. Belum lagi miras dan narkoba yang mudah didapat.

Dimana negara?

Negara tidak tegas terhadap media dan bisnis porno karena sebagian darinya menjadi sumber pemasukan pajak. Negara tidak membuat aturan tentang pakaian perempuan yang menutup aurat karena dianggap bertentangan HAM, bertentangan dengan liberalisme.

Bahkan negara gagal memberikan rasa aman juga karena sistem sanksi yang liberal, gagal memberi efek jera. Banyak pelaku kejahatan tersebut adalah pemain lama, sudah masuk penjara tapi malah makin ‘terampil dan beragam’ kejahatannya.

3) Negara harus menjadi panglima dalam mewujudkan sistem perlindungan anak. Negara tidak boleh mengandalkan penyelesaian kekerasan seksual anak pada peran serta keluarga dan masyarakat.

(A) Harus ada kebijakan tegas menutup akses semua konten porno, melarang perilaku porno (mewajibkan menutup aurat keluar rumah) dan melarang semua bisnis dan media porno dan pelacuran, apa pun konsekuensinya. Karena ini keharaman, mengundang azab Allah dan terbukti menghasilkan kerusakan berupa marak kekerasan seksual anak.
(B) menutup bisnis miras (bukan hanya mengatur peredarannya) dan mengatasi peredaran narkoba. Karena dua benda haram ini seringkali memicu kekerasan termasuk kepada anak.
(C) melakukan perubahan pada sistem pendidikan agar mampu menghasilkan pribadi takwa yang tidak menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsunya.
(D) mengentaskan kemiskinan dan memampukan keluarga mendidik anak dengan baik.

- Ini mutlak membutuhkan perubahan sistem ekonomi dan sistem interaksi sosial. Pemberlakuan sistem Islam secara kaffah adalah solusinya. Sistem ekonomi Islam akan menghasilkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan.

Sistem ijtimaiy (sosial) nya menghasilkan individu-individu yang berinteraksi dengan sesamanya secara sehat dan saling menghormati. Jauh dari pelecehan apalagi kekerasan dan penyimpangan seksual. Bila masih ada yang melakukan kekerasan terhadap anak apalagi sampai membunuh, maka sanksi keras dan tanpa pandang bulu telah disiapkan Islam.

Semua itu mustahil diterapkan dalam sistem pemerintahan demokrasi sebagaimana saat ini. Karena negara dalam sitem demokrasi justru harus melanggengkan kebebasan, tersandera oleh pebisnis yang berkepentingan ketika akan membuat aturan tegas terhadap bisni porno dan miras.

Hanya khilafah yang mampu wujudkan. Karena hanya khilafah lah negara yang mampu menegakkan seluruh aturan Allah. Juga khilafah akan mengerahkan segenap kemampuan untuk memberikan ‘riayah dan himayah’ (pengaturan, pengayoman dan perlindungan), tidak membiarkan satu anak pun mengalami kekerasan apalagi sampai kehilangan nyawa.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini