Ditulis oleh : Petrus Selestinus, Kordinator TPDI
TRIBUNNERS - Pendapat kader PDIP tentang deparpolisasi terkait dengan majunya Basuki Tjahja Purnama alias Ahok sebagai calon Gubernur DKI dalam pilkada 2017 melalui jalur perseorangan atau independen, harus dimaknai sebagai refleksi dari ketidaknyamanan PDIP menghadapi Pilkada DKI 2017.
Sikap PDIP ini seperti pribahasa "Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri". Mengapa? karena PDIP sebagai partai politik yang ikut melahirkan UU Pemerintahan Daerah No 12 Tahun 2008, yang mengatur keikutsertaan pasangan calon gubernur atau bupati dari jalur perseorangan atau independen.
Aturan tersebut kemudian tetap dipertahankan dalam UU No. 8 Tahun 2015, Tentang Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakli Walikota.
Dengan demikian pilihan Gubernur Basuki Tjahja Purnama alias Ahok untuk maju sebagai calon Gubernur DKI dalam pilkada 2017 melalui jalur independen, bukan merupakan langkah inkonstitusional untuk mendeparpolisasi PDIP atau partai politik lainnya.
Akan tetapi merupakan langkah konstitusional dimana Gubernur Basuki Tjahja Purnama alias Ahok mengkatualisasikan hak konstitusionalnya untuk menjalankan UU Pilkada sebagai produk DPR dan pemerintah sebagai representasi kekuatan partai politik peserta pemilu.
Oleh karena itu sikap dan pendapat kader PDIP yang katanya direstui olen Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bahwa pilihan Ahok menggunakan jalur independen sebagai upaya mendeparpolisasi partai politik, merupakan sikap yang kontraproduktif, mencari kambing hitam dan hendak membungkus borok-borok partai yang kader-kadernya sudah banyak menjadi penghuni Sukamiskin, Cipinang, Salemba dan sebagainya.
Pendapat kader parpol yang mengatakan calon gubernur/bupati/walikota dari jalur independen, sebagai upaya mendeparpolisasi partai politik, harus diwaspadai sebagai ancaman terhadap eksistensi jalur independen yang diatur di dalam UU Pilkada.
Karena sejarah telah membuktikan bahwa ketika partai politik di DPR merasa tidak nyaman dengan keberadaan sebuah lembaga hasil proses politik di DPR dan Pemerintah, maka upaya yang dilakukan adalah mengamputasi lembaga itu melalui perubahan UU.
Sebagai contoh, ketika DPR dan Pemerintah ketika Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden 2001-2004, merasa tidak nyaman dengan keberadaan KPKPN, maka DPR terutama dari PDIP dan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan mudah mengamputasi KPKPN melalui amandemen UU No. 28 Tahun 1999.
Begitu juga dengan apa yang dialami oleh KPK, ketika anggota DPR dan eksekutif merasa tidak nyaman dengan keberadaan KPK, maka bukan hanya DPR dan sejumlah elit eksekutif tetapi PDIP, Nasdem, Golkar, PKB dan sebagainya, ikut menyuarakan perubahan UU KPK, bahkan mengarah kepada pembubaran KPK.
Fenomena dimana PDIP mulai merasa tidak nyaman dengan keberadaan jalur independen dalam pilkada di DKI dan berpendapat keberadaan jalur perseorangan atau independen sebagai upaya mendeparpolisasi partai politik, harus dibaca dengan menggunakan kaca mata semiotika, sebagai isyarat atau tanda bahaya akan hilangnya eksistensi calon perseorangan dalam pilkada melalui usul perubahan UU Pilkada.
PDIP bisa saja mengambil inisiatif meniadakan jalur independen dalam pilkada atau setidak-tidaknya mempersulit calon perorangan atau independen dalam revisi UU Pilkada pada masa yang akan datang.
Ini merupakan fakta sosial dimana setiap PDIP menjadi salah satu kekuatan riil di DPR, maka eksistensi lembaga demokrasi atau lembaga hukum yang mengganggu kenyamanan dan kemapanan partai atau tokoh partai, akan menjadi korban untuk dibubarkan atau diperlemah melalui revisi undang-undang.