SEORANG penyair dari Bandung, Ahda Imran, menuliskan kabar tak sedap di dinding akun Facebook miliknya. Pertunjukannya, "Monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah", dilarang dipentaskan.
Siapa yang melarang? Ini yang menyentak: sekelompok orang mengatasnamakan Front Pembela Islam (FPI).
Alasannya? Tan Malaka adalah komunis dan pertunjukan yang berkaitpaut dengannya adalah upaya untuk membangkitkan kembali komunisme dari liang kuburnya di Indonesia.
Ahda Imran telah menerangkan pada para pemrotes, bahwa monolog ini merupakan karya seni dan tidak ada maksud untuk menyebarluaskan paham komunis, massa bergeming.
"Pokoknya bubar," kata seorang di antara mereka, yang agaknya merupakan juru bicara. "Komunis adalah musuh," teriaknya.
Meski beberapa jam kemudian, lewat media yang sama Ahda Imran menyampaikan bahwa pertunjukannya bisa tetap digelar, atas jaminan penuh dari Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, kabar ini tetap menyentak.
Hari ini penanggalan ke 24, bulan Maret, tahun 2016. Setengah abad lebih berjarak dari peristiwa pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah yang membuat Partai Komunis Indonesia (PKI) hancur lebur dan kemudian dinyatakan terlarang.
Padahal, tidak pernah ada yang tahu pasti, apakah jenderal-jenderal dan perwira itu dibunuh oleh PKI atau pihak lain yang memancing di air keruh, menelikung, untuk memenangkan konspirasi politik tingkat tinggi. Setengah abad lebih dan kebencian dan sekaligus ketakutan itu, ternyata, tetap terpelihara.
Saya, tentu saja, pada awalnya termasuk ke dalam kelompok yang benci sekaligus takut ini. Sebabnya jelas. Generasi saya, generasi yang mengenakan seragam SD sampai SMA sepanjang tahun 1980 sampai awal 1990an, juga generasi di atas saya dan di bawah saya hingga kejatuhan Soeharto di tahun 1998, dicekoki dengan pelajaran dari buku-buku sejarah yang dibuat sesuai keinginan pemerintah. Dan, memang, tidak pernah ada nama Tan Malaka di buku-buku itu. Setidaknya untuk disebutkan sebagai orang-orang penting, seperti Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Sudirman, dan --tentu saja-- Soeharto.
Setelah meninggalkan PSPB (Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa) dan buku-buku sejarah lain bikinan Orde Baru yang serba aduhai, lalu beralih ke buku-buku sejarah lain yang sebelumnya dilarang edar karena memilih untuk tidak ngibul, saya jadi tahu bahwa perjuangan ketiga Bung Besar, juga Sudirman, tidak lepas dari pemikiran Tan Malaka.
Pemikiran yang ia tuangkan dalam dua buku yang sebenarnya sungguh-sungguh krusial dalam perjuangan bangsa: "Naar de Republiek Indonesia" (1925) dan "Massa Actie" (1926).
Dua buku ini, sepanjang catatan sejarah yang --sekali lagi-- tidak ngibul, merupakan buku pertama yang bukan saja secara terang-terangan mengedepankan ide kemerdekaan, tapi lebih jauh bentuk negara.
Tan Malaka dilahirkan di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897. Nama lahirnya Ibrahim. Ia keturunan bangsawan Minang dan bergelar Datuk.