Gelar lengkapnya, Datuk Sutan Malaka. Dan Ibrahim, menggunakan nama gelar ini untuk "nama politiknya". Ia juga menggunakan nama- nama alias yang lain, namun di antaranya, memang, Tan Malaka yang paling kesohor.
Pertanyaannya, benarkah Tan Malaka komunis? Jawabannya, ya, sangat benar. Tan Malaka bahkan pernah memimpin PKI. Tapi apakah Tan Malaka ateis, tidak bertuhan, sebagaimana dituduhkan Orde Baru pada tiap-tiap orang yang menjadi anggota atau simpatisan PKI atau organisasi-organisasi sayapnya? Jawabannya, tidak.
Tan Malaka adalah muslim yang taat. Dia Datuk, bangsawan Minang yang hafidz Al-Quran.
Ah, jangan mengada-ngada, bagaimana mungkin ada PKI yang Islam, hafidz Quran pula? Tentu saja masih banyak yang akan menyangsikan koneksitas ini, lantas bertanya demikian.
Abang-abang FPI bahkan telah bertindak lebih jauh. Paparan-paparan dalam PSPB dan buku-buku sejarah bikinan Orde Baru, serta film 'Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI' besutan Arifin C Noer itu, barangkali masih melekat kuat di kepala mereka, sehingga dengan lantang meneriakkan 'Komunis adalah musuh' dan menilai Tan Malaka sebagai pendosa.
Abang-abang PFI barangkali memang tidak pernah membaca "Naar de Republiek Indonesia" dan "Massa Actie", atau buku "top 40" Tan Malaka, "Madilog" dan "Gerpolek", atau buku- buku tentang dirinya, seperti ditulis Harry A Poeze, "Pergulatan Menuju Republik 1897-1925" dan "Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949".
Karena itu mereka dengan enteng belaka menempatkan Tan Malaka pada level yang sejajar dengan Lady Gaga, atau artis-artis cabul semacam Tera Patrick, Sasha Grey atau Maria Ozawa, yang mereka tolak keberadaannya.
Tapi baiklah, terlepas dari mereka membaca atau tidak, pantaskah sekadar pementasan monolog dicurigai sebagai upaya untuk membangkitkan kembali komunisme (atau barangkali lebih spesifik, PKI) dari liang kuburnya?
Sebenarnya pantas-pantas saja. Dengan catatan apabila kecurigaan tersebut datang dari mereka yang pemahaman sejarahnya berhenti pada sekadar PSPB, dan celakanya terlalu angkuh untuk membuka diri terhadap fakta-fakta perkembangan dunia di hari-hari terakhir ini.
Komunisme memang masih hidup. Namun di negeri asalnya, negeri Karl Max, Lenin, dan Trotsky, juga di China, komunisme sudah tercerabut dari akar aslinya.
Komunisme justru telah tercemarkan oleh dua musuh utamanya, liberalisme dan kapitalisme. Sedangkan negeri-negeri yang masih bersetia pada komunisme tradisional, hanya memiliki dua pilihan hidup: tidak berkembang, atau sebaliknya, maju tapi terasingkan dari dunia luar, seperti Kuba dan Korea Utara.
Abang-abang FPI, zaman sekarang sudah modern. Sudah canggih. Bocah ingusan sekali pun bisa tahu apa yang terjadi di Botswana sampai Antartika dengan hanya menyentuhkan ujung jarinya ke layar gadget. Mereka tahu, kami juga tahu, mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi tak perlulah sampai main paksa begitu. Tingkah seperti ini hanya akan membuat kalian jadi terkesan terkebelakang, dan dungu.
twitter: @aguskhaidir