Ditulis oleh : Fraksi Nasdem
TRIBUNNERS - Draft Revisi UU Pilkada No. 8 Tahun 2015 dinilai semakin jauh dari tujuan akhir pilkada yaitu menyejahterakan rakyat.
Pernyataan ini disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD dalam seminar tentang RUU Pilkada yang digelar oleh Fraksi NasDem, Kamis (14/4/2016).
Mahfud mengatakan, masih banyak cacat yang dikandung dalam draft revisi yang ada saat ini. Selain soal ide besar ke mana arah penyelenggaraan pilkada, ada juga sejumlah persoalan hukum.
“Keran bagi calon perseorangan bukan deparpolisasi. Parpol adalah keniscayaan demokrasi dan perintah konstitusi,” ujarnya.
Dia menegaskan soal besarnya persentase dukungan untuk calon perorangan adalah pilihan politik hukum pembuat Undang-undang.
Yang terpenting menurutnya adalah partisipasi masyarakat semakin tinggi.
Dia mengingatkan bahwa soal DPT (Daftar Pemilih Tetap) adalah soal administratif dan tidak boleh membelenggu hak konstitusional rakyat.
Sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, dia juga merincikan beberapa persoalan hukum dalam Draft Revisi UU Pilkada yang saat ini beredar. Terhadap wacana calon tunggal dia bersepakat dengan Yasonna Laoly.
"Dukungan untuk satu pasangan calon yang diberikan parpol atau gabungan parlol tidak boleh melebihi jumlah parpol yang menguasai separuh dari seluruh kursi yang ada di DPRD," tuturnya.
Dia juga mengkritik draft revisi UU Pilkada terkait peradilan pilkada yang menurutnya tidak cukup tegas memberikan kewenangan.
Dia mengatakan dibeberapa negara, peradilan khusus bisa dilakukan oleh lembaga diluar MA ataupun MK.
"Kita bisa menyerahkan peradilan itu kepada lembaga quasi peradilan seperti Bawaslu, asalkan diberi kewenangan yang tegas oleh UU,” ucapnya.
Mahfud juga mencermati sejumlah pasal teknis yang menurutnya akan menjadi masalah jika tidak diperbaiki.
Misalnya soal syarat tidak sedang menjalani hukuman pidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Dia mengusulkan untuk mempertegas dengan tambahan tidak sedang menjalani hukuman bersyarat atau pelepasan bersyarat.
Guru Besar Tata Negara Universitas Islam Indonesia ini juga mencermati soal pencabutan hak politik dari pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon.
Menurutnya harus jelas makna “wilayah hukum” agar tidak ada problem administratif yang berujung menurunkan kualitas pilkada.