Penulis: Irmayanti Juliana. Alumni Magister Manajemen UI
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harta memang penting, tetapi bukan segalanya. Manusia boleh saja bergelimang harta tetapi jangan pada sampai ke titik dimana yang dinamakan 'greedy' atau rakus. Kita dapat melihat bahwa perkembangan dan kemajuan dalam masyarakat timbul karena pertimbangan kelas.
Dalam hal strata atau kelas sosial, strata kehidupan jelas buatan manusia, hasil kebudayaannya yakni alam kehidupan, manusia mempunyai penyakit 'takut miskin'. Manusia sangat takut kekurangan dan mengalami bencana, padahal Tuhan memberikannya atas dasar hukum keadilan, ada yang sebagai ujian dan ada pula yang merupakan peringatan.
Tidak sedikit sekarang ini kita temukan banyak orang berbondong-bondong mengumpulkan pundi-pundi kekayaan baik kalangan elite seperti pejabat, artis ataupun hanya sekedar abdi negara (civil servant).
Saat nurani kita berbicara mengenai strata sosial dan nasib atau takdir manusia dimana nasib dan takdir bukanlah mendatangi, tetapi harus dicari. Nasib adalah pintu usaha dan ikhtiar sedangkan takdir adalah ukuran, hasil atau nilai yang telah diperjuangakan dan keduanya merupakan kehendak Tuhan.
Kita tidak dilarang untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin selama kita tidak serakah. Mengumpulkan kekayaan sedikit demi sedikit, berinvestasi, memulai dan mengembangkan bisnis ini semua adalah pilihan-pilihan yang baik. Dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit, Anda akan menjadi kaya.
Dengan mengembangkan bisnis, Anda menciptakan lapangan kerja kepada banyak orang. Dari bisnis yang dikelola dengan baik dan benar, Anda bisa mendapatkan keuntungan.
Jadi, tidak salah mengumpulkan atau menumpuk harta selama Anda tidak serakah. Dibenarkan menumpuk harta selama Anda tidak mencuri, merampas, dan merampok milik orang lain.
Namun sebagai manusia yang hidup menurut agama dan budaya serta segala peraturan yang ada, kita tetap harus menyadari masih banyak orang-orang miskin yang ada di sekitar kita.
Mereka akan selalu ada, dan dengan melihat itu semua kita harus membudayakan rasa malu untuk melakukan segala bentuk keserakahan seperti corruption, money laundering (pencucian uang), dan lain lain. Kasus korupsi dan pencucian uang ini masih mengakar di negeri kita, tak tahu lagi etika dimana terhubung dengan hati nurani atau undang-undang yang berhubungan dengan sistem legitimasi hukum.
Di zaman era digital ini, kita banyak terbantu dengan sarana/pasarana yang ada di negeri kita ini. Misalnya melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yakni untuk mencegah semua bentuk pencucian uang maka pemerintah dan seluruh stakeholder terkait (Bank dan Financial Institution lainnya) telah memberikan sosialisasi atau edukasi khusus melalui layanan masyarakat dan menerapkan Program Anti Pencucian uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) sehingga dengan aktivitas dan teknologi informasi Bank maupun FI (Financial Institution) lainnya dapat mengurangi timbulnya risiko kejahatan.
Seperti dalam kasus Panama Papers. Beberapa pejabat negara ini dan pengusaha kita tecantum namanya disana. Masih menjadi konspirasi negara ini bagaimana tindak lanjut dari kasus ini. Kita tak tahu pasti apakah uang disana dikategorikan uang sehat ataukah uang gelap.
Dimana kita mengetahui penggunaan harta kekayaan adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk kedalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan, seperti misalnya pembelian aset dan membuka atau melakukan kegiatan usaha.
Beberapa nama orang terkaya di Indonesia tercatat dalam Panama Papers dimana mereka membuka perusahaan di luar negeri akan tetapi tidak jelas maksud tujuan dan operasional serta manajemen perusahaannya.
Maka dalam perihal kasus ini istilah “Tax amnesty” dalam beberapa waktu terakhir menjadi isu yang semakin kekinian dikarenakan adanya kesepakatan kepentingan pihak tertentu dalam Revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty (Pengampunan Pajak).
Dimana kesepakatan ini dikarenakan pemerintah membawa kepentingan dalam revisi UU KPK dan DPR membawa kepentingan RUU Tax Amnesty.
Tax Amnesty (kebijakan pengampunan pajak) memiliki dua sisi. Dampak yang mencemaskan dari kebijakan itu adalah wajib pajak yang selama ini patuh membayar merasakan ketidakadilan. Kebijakan ini juga bisa disalahgunakan, seperti dijadikan alat untuk mencuci penghasilan yang diperoleh dari tindak pidana.
Disatu sisi kita merasa Tax Amnesty bukanlah menjadi win win solution, karena seharusnya sistem perpajakan kitalah yang harus diperbaiki administrasinya, kapasitas institusi perpajakan sendiri juga harus diperkuat, penegakan hukumnya juga masih lemah. Masih banyak yang harus dibenahi dan dipertimbangkan, jangan langsung ingin menerapkan pengampunan pajak, karena ini bisa meruntuhkan kredibilitas institusi perpajakan itu sendiri nantinya.
Ketika tidak dikelola dengan baik, pengampunan pajak akan mencederai rasa keadilan wajib pajak yang selama ini patuh. Karena itu,Tax Amnesty harus didesain khusus untuk meminimalisir ketidakadilan dan memaksimalkan kepentingan penerimaan negara. Pemerintahan kita harus menyeleksi kriteria wajib pajak, jenis pajak dan apa saja sumber penghasilan yang layak mendapat pengampunan pajak.
Tujuan awalnya dalam menerapkan pengampunan pajak sendiri sebelumnya yakni untuk repatriasi atau menarik dana warga negara Indonesia yang ada di luar negeri. Selain itu untuk meningkatkan pertumbuhan nasional dan meningkatkan basis perpajakan nasional, yaitu aset yang disampaikan dalam permohonan pengampunan pajak dapat dimanfaatkan untuk pemajakan yang akan datang.
Jika tujuan dan kontroversi sudah menjadi polemik maka tax amnesty adalah kebijakan yang bersifat one size doesn’t fit all.
Namun, jika kita telusuri lebih jauh lagi dengan uang yang puluhan tahun di luar, tentunya adanya banyak dana besar yang bisa dimanfaatkan dimana kita dapat menarik aset keuangan dari luar negeri sehingga dampaknya mempengaruhi neraca pembayaran, investasi domestik, atau pertimbangan keuangan lainnya.
Bagi pemerintah kebijakan pengampunan pajak dibutuhkan seiring dengan besarnya dana orang Indonesia di luar negeri. Lebih baik, dana dibawa ke dalam negeri dan digunakan untuk pembangunan.
Tapi kita harus mematangkan kebijakan tersebut. Kita harus mempersiapkan semuanya termasuk dari sisi basis maupun infrastruktur pendukungnya. Jadi bagaimanapun kita butuh supaya uang kita kembali kekampung halamannya.
Kita tidak bisa membiarkan uang yang puluhan tahun milik orang Indonesia harus di parkir ke luar negeri, yang di mana uang itu malah menyejahterakan orang luar negeri dari pada di dalam negeri. Karena Indonesia sedang butuh likuiditas, sehingga uang yang kembali masuk ke kampung halaman kita nantinya bisa digunakan untuk menggerakkan ekonomi nasional.
Dengan kasus-kasus seperti ini seharusnya kita, pemerintah atau bahkan lebih khusus lagi lembaga keuangan yakni bank lebih memperketat prudential banking dan tingkat kepatuhan pelaksanaan identifikasi dalam rangka mengenali transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transaction).
Dalam hal ini kita sangat terbantu dengan adanya PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan). Melalui lembaga ini dilakukan uji petik transaksi data pejabat dan pengusaha. Sehingga kita rakyat Indonesia dapat meminimalis segala bentuk korupsi, pencucian uang, dilemma tax amnesty dimana akan bermuara terhadap penyimpangan profil dan penyimpangan karakteristik serta etika dalam menumpuk harta kekayaan.