Ditulis oleh : Achmad Hafisz Tohir, Anggota DPR FPAN
TRIBUNNERS - Penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai jaminan utang luar negeri adalah tindakan melanggar hukum.
UU No 1/2004 tentang pembendaharaan negara tegas mengatur BMN tidak dapat dijadikan jaminan untuk pinjaman utang luar negeri.
Diktum pasal 49 ayat 4 UU No 1/2004 menyatakan barang milik negara/daerah dilarang diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan pemerintah pusat/daerah.
Dalam ayat 5 menyatakan barang milik negara/daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman.
Sehingga rencana pemerintah yang akan kembali mencari pinjaman keluar negeri dengan menjaminkan Barang Milik Negara (BMN) sebagai jaminan mendapatkan utang adalah cara berpikir yang keliru dan kebijakan yang berpotensi membahayakan keuangan negara.
Seharusnya pemerintah lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan baru untuk menutup divisit anggaran berjalan untuk membiayai proyek-proyek dalam memenuhi janji politiknya kepada rakyat, bukan selalu dengan mengandalkan utang luar negeri.
Negara ini sudah darurat utang luar negeri, data terakhir dari World Bank, rasio utang luar negeri Indonesia baik pemerintah maupun swasta sudah berada di angka Rp 4 Triliun.
Keuangan negara bisa jebol jika kebijakan gali lubang tutup lubang seperti ini diteruskan, Perekonomian nasional bisa bangkut.
Jadi pemerintah harus stop menggunakan mazhab utang keluar negeri untuk membiayai proyek pembangunan infrastrukturnya.
Pembiayaan pembangunan harus dibarter dengan aktivitas lain, semisal barter hasil bumi, barter jasa, barter dagang dan atau revaluasi aset negara bukan dengan menjaminkan BMN seperti rencana pemerintah ini.
Tim ekonomi pemerintah yang di isi ekonom-ekonom handal harus punya solusi brilian dengan memanfaatkan semua sumber daya yang ada di dalam negeri. Ini negara besar dengan potensi maritim luar biasa, jangan sampai negara ini di gadaikan keluar negeri.
Jika tak mampu maka Presiden tak usah segan mengganti tim ekonomi nya yang lebih nasionalis dan bermahzab ekonomi konstitusi sesuai slogan Trisakti dam Nawa Cita Presiden.
Ini saatnya pemerintah bekerja dengan lebih serius. Hentikan politik pencitraan dengan memberikan gula-gula dan janji manis kepada rakyat tetapi resiko utang akan terus menjerat rakyat bahkan sejak setiap anak Indonesia ini lahir.
Jika hutang semakin besar tentu rasio akan naik, akibatnya adalah beban APBN akan semakin besar. Bisa-bisa APBN habis hanya untuk biayai pembayaran utang jatuh tempo. Beban APBN kedepan akan semakin berat. Ini berbahaya bagi keberlangsungan pemerintahan Jokowi.