TRIBUNNERS - Saat ini polemik mengenai defenisi politik uang yang “sempit” atau tidak jelas menjadi semacam kritik terhadap pembuat Undang-Undang,
Namun hal-hal demikian yang dilontarkan pihak-pihak kritis pegiat pemilu menjadi warna tersendiri bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Kami pun KIPP Indonesia ingin turut serta menggoreskan warna menjelang pelaksanaan Pilkada, khususnya tentang politik uang.
Paskapengesahan Revisi Kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menimbulkan prahara pandangan yang mengarahkan opini publik.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah perdebatan terkait politik uang yang dijadikan pijakan hiruk pikuk indikator integritasnya proses penyelenggaraan dan produk pilkada.
Padahal perdebatan politik uang tidak pernah selesai mulai dari tataran teori, teknis dan penyelesaian kasus dari tahun ke tahun.
Oleh karena itu, ada baiknya kita kaji secara objektif tentang persoalan ini.
Berikut pandangan KIPP Indonesia mengenai politik uang dalam konstestasi demokrasi, yang menjadi polemik dan perdebatan akhir-akhir ini:
Pertama, Politik uang secara sederhana adalah bentuk pemberian uang dari pasangan calon kepala daerah dan/atau tim pemenangan kepada; (1) pemilih untuk memilih; (2) penyelenggara untuk membantu pemenangan atau meloloskan kecurangan; (3) partai untuk pengusungan pencalonan.
Semuanya dinamakan politik uang karena persepsi pemberian “uang” kepada pihak lain untuk memenangkan kontestasi demokrasi eksekutif daerah.
Dengan melihat Pasal 73 ayat (1) Revisi kedua UU Pilkada menyebutkan bahwa “calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih”.
Demi mempertegas ketentuan yang dikatakan sebagai frase “politik uang” maka dijelaskan bahwa “yang tidak termasuk “memberikan uang atau materi lainnya” meliputi pemberian biaya makan, biaya transport peserta kampanye, hingga biaya pengadaan bahan kampanye.
Kedua, semua perdebatan terkait politik uang ini menjadi dilema mengingat “biaya makan”, “biaya transport peserta kampanye”, “biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog” dan hadiah lainnya.
Perdebatan terkait uang tunai dan nontunai menyeruak hingga ke jagad opini para pemerhati, politisi dan penyelenggara pilkada.