PENGIRIM: Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
TRIBUNNERS - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyesalkan perilaku pemerintahan Presiden Jokowi yang memelihara “rezim jagal” tanpa mengevaluasi hasil yang dicapai.
Pemeliharaan “rezim jagal” dimanifetasikan lewat pelaksanaan hukuman mati gelombang ketiga atas empat terpidana mati kasus narkoba, yaitu Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus Igweh, dan Humphrey Ejike pada 29 Juli 2016 di Nusakambangan.
Freddy dan Titus memang sudah meregang nyawa sehabis diberondong peluru dari senapan para algojo dari personel Brigade Mobil (Brimob).
Namun dari cerita mereka dan tambahan temuan beberapa pihak menyembul bau busuk yang menyengat: dugaan skandal di tubuh aparatur rezim antinarkoba dan “rezim jagal”.
Sedangkan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar mengaku sulit mengungkap, karena tidak ada yang dapat dikonfirmasi seiring direnggutnya hidup Freddy – seorang gembong narkoba yang bisa disebut-sebut mengendalikan bisnis narkoba dari dalam penjara.
Bahkan, berasumsi cerita Freddy ini hanyalah trik untuk lolos dari hukuman mati.
Pertama, dugaan skandal di tubuh rezim antinarkoba. Tulisan Haris Azhar, Koordinator Konstras, berdasarkan keterangan Freddy pada 2014, menghidangkan bau tak sedap berupa dugaan gelontoran “uang haram” ratusan miliar rupiah ke sejumlah pejabat BNN, Mabes Polri, dan Bea Cukai.
Masih ditambah dengan cerita penyelundupan narkoba dari Medan ke Jakarta bersama seorang berpangkat Mayjen TNI.
Bahkan, proses dan hasil pengadilannya pun terkesan ditutup-tutupi. Selain itu, masih ada nyanyian kelam Titus – dituduh sebagai pengecer narkoba – perihal beberapa polisi antinarkoba yang memeras dan mengintimidasinya di tahanan, dengan menyebutkan nama-nama.
Apa benar begini sisi gelap rezim antinarkoba yang memainkan peran sebagai penyokong jaringan bisnis narkoba serta memeras tersangka?
Kedua, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menemukan dugaan kecerobohan “rezim jagal” pimpinan Jaksa Agung HM Prasetyo.
Tiga orang dari empat terpidana mati yang dieksekusi hanya diberi waktu 60 jam pemberitahuan sebelum dieksekusi, bukan 3 x 24 jam. Mereka juga tidak memperoleh salinan Kepres tentang penolakan grasi.
Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) menemukan dugaan penyelewengan anggaran.