Setiap eksekusi mati seorang terpidana, Polri dapat jatah Rp 247 juta, Kejaksaan Rp 200 juta.
Namun, dana dari APBN yang sudah dihabiskan Rp 7 miliar hanya untuk empat orang yang diterjang peluru, sedangkan 10 orang dari 14 terpidana mati yang dianggarkan, mengalami penundaan eksekusi. Apakah semua ini skandal “rezim jagal”?
Belakangan Merry Utami yang pernah menjadi pekerja migran (TKW) di Taiwan, kasus yang mirip dengan kasus Mary Jane Veloso asal Filipina, sudah menjalani hukuman hampir 15 tahun penjara sejak 31 Oktober 2001, serta masuk daftar 14 terpidana yang akan dieksekusi mati, namun ditunda.
Bagaimana menjelaskan terpidana perempuan seperti dia bisa dijatuhi hukuman mati? Pengadilan macam apa yang mengadilinya?
Apakah dugaan skandal itu turut sebagai faktor penyebab meningkatnya jumlah kasus narkoba sebesar 13,6 persen per tahun, serta melejitnya jumlah pengguna narkoba dari 4,2 juta naik jadi 5,9 juta pengguna? Apakah bisnis narkoba yang beromset Rp 66,3 triliun itu bikin orang-orang dalam rezim antinarkoba tergiur?
Presiden Jokowi, Jaksa Agung HM Prasetyo, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Kepala BNN Komjen Budi Waseso sudah seharusnya bersikap terbuka dan sportif.
Sikap yang dimaksud bukan berpura-pura terbuka dengan “bibir manis” demi pencitraan yang cuma jadi kedok untuk menutupi bau busuk.
PBHI mendesak Presiden Jokowi untuk membentuk tim khusus yang bertugas menyelidiki dugaan skandal di tubuh rezim antinarkoba dan rezim hukuman mati supaya mereka yang terlibat dimintai pertanggungjawaban – bukan membebaskan mereka dari hukuman demi melanggengkan impunitas.
Pemerintah punya segalanya: wewenang atau kekuasaan, jumlah personel, anggaran (uang), peralatan dan fasilitas, serta jangkauan akses dan jaringan untuk memantau dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk berhasil membongkar dan membuktikan ada atau tidaknya dugaan bau busuk itu.
Seharusnya, setiap orang sama di muka hukum sebagai prinsip yang wajib dipegang teguh oleh penegak hukum dan kehakiman.
Semoga para pejabat itu tidak lupa dan mau bekerja untuk membersihkan orang-orang di dalam aparaturnya yang diduga sama kriminalnya.
PBHI juga meminta pemerintah untuk mengevaluasi kegagalan dalam menurunkan jumlah kasus dan pengguna narkoba supaya menemukan kesalahan, kelemahan, dan hambatannya sebelum menyusun rencana yang lebih matang, dengan target dan indikator yang lebih jelas dalam menggelar proyek “darurat narkoba” menuju keadaan normal.