Oleh Dr Ichsanuddin Noorsy BSc., SH., MSi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Sejak Amerika Serikat (AS) menderita kalah perang industri manufaktur dengan RRC pada 2008, berindikasi defisit perdagangan 323 miliar dolar AS.
Mmengakibatkan krisis kredit perumahan Subprime Mortgage,Indonesia dengan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal percaya diri bahwa perekonomian nasional membaik dan akan mampu menjawab kebutuhan lapangan kerja.
Saya sulit meyakini hal ini disebabkan pola liberalisasi perekonomian berjalan mulus. Menurut Sarah L Babb dan Marion Fourcade dengan merujuk berbagai indikator ekonomi global, liberalisasi dan privatisasi perekonomian berujung pada ketimpangan.
Mmeningkatnya konflik sosial dan vertikal, dan defisit neraca pembayaran akan terus membayangi. Hal ini diikuti dengan fluktuasi nilai tukar yang mendorong inflasi.
Tapi kabinet SBY jilid pertama percaya diri. Saking percaya dirinya, pada kampanye Pilpres 2009 mereka mengutip majalah Time bahwa Indonesia akan mengikuti jejak India.
Kutipan ini tentu saja tidak berpijak pada kenyataan karena target-target RPJMN 2004-2009 tidak tercapai.
Maka Kabinet “Bersama Kita Bisa” berbuah rasio Gini 0,37 dan sumberdaya strategis, cabang-cabang produksi yang penting serta jejaring logistik makin dominan dikuasai asing.
Namun karena media massa sangat berpihak, pasangan SBY-Bud melenggang dengan mulus memenangkan Pemilu 2009.
Belum juga menikmati bulan madu kemenangan, kasus Bank Century mencuat.
Jika periode 2004-2009 pemerintahan terganggu karena fluktuasi harga minyak dan krisis keuangan AS yang memicu krisis keuangan dunia, maka pada periode 2009-2014 SBY diganggu akibat kebijakannya memberikan talangan ke Bank Century lebih dari Rp6,7T.
Setelah dana talangan ditambah, Bank ini pun dijual ke korporasi Jepang dengan harga Rp4,17T. Selain karena kegaduhan masalah ini, gejolak ekonomi globalpun mengakibatkan kabinet SBY jilid dua menghasilkan rasio Gini 0,41.
Dengan dominasi korporasi asing pada sektor migas, pertambangan emas, industri manufaktur, dan mahalnya biaya distribusi karena buruknya infrastruktur.
Sebuah kajian yang disampaikan kepada Kepala Bappenas menyebutkan bahwa RPJMN 2004-2009 bersifat ahistoris, tidak sesuai dengan semangat perjuangan bangsa, dan bertentangan dengan Kata Pembukaan UUD 1945.
Dalam periode itu pun jumlah utang luar negeri untuk alokasi program meningkat tajam. Sementara posisi RPJMN 2009-2014 juga tidak jelas karena disusul oleh Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indopnesia (MP3EI).