(4) Tentang menguatnya keberpihakan pada korporasi dalam orientasi kebijakan Pemprov DKI. Hasil kajian yg dilakukan Mahmud Syaltout (Doktor Hukum lulusan Universitas Sorbonne, Perancis) terhadap dokumen hukum yang ada dalam website Pemprov DKI, dengan materi 10 produk peraturan terkait reklamasi di Teluk Jakarta, menggunakan instrumen CAQDAS (Computer Assisted Qualitative Data Analysis) dan perangkat halus MAXQDA 12, ditemukan kuatnya orientasi kebijakan Pemprov DKI terhadap korporasi, ketimbang terhadap warga.
Dari dokumen regulasi tsb ditemukan kata “reklamasi” disebut sebanyak 632 kali, kata “korporasi” sebanyak 123 kali, dan kata “rakyat” atau “masyarakat” sebanyak 31 kali. Artinya, orientasi kebijakan Pemprov DKI lebih berorientasi pada korporasi besar, daripada terhadap warga miskin di ibukota.
Keberpihakan pada korporasi dapat dilihat dari Peraturan Gubernur Nomor 175 Tahun 2015 tentang “Pengenaan Kompensasi terhadap Pelampauan Nilai Koefisien Lantai Bangunan”. Kebijakan ini memberikan kuasa absolut pada gubernur untuk memberikan izin meninggikan bangunan berdasarkan “rumus kompensasi peninggian bangunan”, tanpa batas.
Peraturan ini melecehkan produk regulasi terkait seperti UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, Perda No 1/2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan Perda No 1/2014 Tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Bukan hanya itu, peraturan ini mengganggu dua hal lain: (a) aspek Keselamatan dan Keamanan yang tercantum dalam UU No 1/2009 tentang Penerbangan dan UU No 34/2004 tentang TNI, khususnya di bidang Operasi Pertahanan Udara; (b) Hancurnya simbol arsitektur transportasi di Jakarta seperti Jembatan Simpang Semanggi
(5) Tentang melemahnya kegiatan kebebasan berpendapat di ibukota. Dalam beberapa bulan terakhir, ada 6 pemaksaan pembatalan acara di Jakarta. Selain itu, Pemprov DKI membatasi lokasi kegiatan demonstrasi di Jakarta, sesuai dengan Pergub No 288 tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka.
Pemprov melalui gubernur juga mengusulkan mengisi water canon dengan bensin untuk mengatasi pengunjuk rasa. Kebijakan ini sebuah langkah mundur bagi demokrasi di Indonesia.
Perlu disampaikan, uraian kelima poin di atas, tidak mengabaikan upaya yang telah dilakukan oleh Pemprov DKI, khususnya pemimpinnya. Gubernur DKI ini adalah pemimpin tegas dan bisa diharapkan membenahi beragam kebuntuan dalam tubuh birokrasi Pemprov DKI. Dia telah mencurahkan energi melakukan penataan good governance dan mendorong praktek transparansi dan akuntabilitas di internal birokrasi.
Apresiasi yang tinggi untuk segala upaya ini. Namun di tengah kekuatan gubernur ini, kami perlahan menyadari kekurangannya sebagai pemimpin: ketakmauan nya mendengar dan berempati pada warga miskin. Gubernur sering memberikan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan warga miskin dan para pendampingnya. Pernyataan ini bukan berbasis fakta lapangan dan seringkali menyesatkan publik.
Tindakan Gubernur Basuki Tjahaha Purnama ini menciptakan polarisasi warga ibukota dan memecah belah sesama warga. Energi kolektif yang sesungguhnya dapat digunakan untuk bekerjasama membangun Jakarta, justru terbuang sia-sia.
Ketiga, dengan mempertimbangkan data dan fakta terkait kinerja dan arah kebijakan Pemprov DKI yang dipimpin oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam mengurus Jakarta, kami mendesak PDI Perjuangan, sebagai partai wong cilik, sekaligus partai politik terbesar di Indonesia, untuk menolak mendukung pencalonan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI (2017-2022).
Kami meyakini tak ada basis moral dan ideologi yang bisa dijadikan sebagai dasar bagi PDI Perjuangan untuk mendukung pencalonannya. Demokrasi, keadilan dan keberpihakan pada kaum marhaen adalah ideologi PDI Perjuangan yang tidak dapat ditemui oleh kandidat ini.
Akhir kata, seorang gubernur adalah pemimpin kota, pemimpin warga. Melalui kebijakan yang dihasilkan, nasib ibukota, dan nasib jutaan warga miskin bergantung. Kami percaya, Ibu Megawati memiliki hati nurani yang berpihak pada kedaulatan warga negara yang paling tersisih secara ekonomi, dan sosial. Seperti kami juga yang percaya bahwa “Suara rakyat adalah suara Tuhan”
Jakarta, 19 Agustus 2016
Forum Kampung Kota
Tertanda