Dari simbol tumpang raga ini, katanya lebih lanjut, kita dituntut untuk mengendalikan nafsu dan memahami jatidiri kita. Ora bakal ngerti gustine lamuto ndak ngerti jatidirine. Makanya dalam konteks pemahaman tentang ketuhanan sangatlah penting mengenal dulu jatidiri kita.
Itulah yang tersirat tentang BPJTR, yaitu sarana untuk mengetaui “sopo gusti ingsun” yang sebenarnya, dalam artian tidak cuma sebatas akal, tapi betul-betul diimani dalam artian nghoib, sebab Tuhan adalah dzat yang nghoib.
Begitu urai pengaji pring-deling Umi Badriyah, apa dan siapa serta makna filosofi di balik BPJTR. Itulah uniknya bambu unik, selain memiliki nilai artistik sebagai karya seni alami, juga ada yang meyakini mengandung tuah bawaan alami, ternyata siapa sangka juga tersirat kandungan pesan filosofis nilai-nilai kehidupan didalamnya .
Setidaknya lewat paparan pengaji ilmu pring-deling Umi Badriyah, di sini kita diajak untuk membaca, mengagumi tanda-tanda kebesaran alam, sekaligus menjadi bukti atas kebesaran Sang Maha Pencipta, kendati lewat sepotong bambu.
Dari sepotong bambu bernama “Bambu Petuk Jalu Tumpang Raga”, kita pun diajak membaca dan mengungkap makna untuk mengajak kita selalu ingat akan apa dan siapa sejatinya jatidiri kita.
Manusia tidak akan mampu menjangkau membuka tabir misteri Dzat Allah, tapi cukup dengan mentafakuri.
Lewat tanda-tanda kebesaran alam walau hanya dari sepotong bambu ini akan semakin menebalkan iman dan keimanan juga ketakjuban kita akan kebesaran Tuhan Semesta Alam sebagai Sang Maha Pencipta. Tak ada yang tak ada atas kehendak kuasaNya, Amin!!!
* Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”, admin “Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara” dan galeribambuuniknusantara. blogspot.com